Rabu, 04 Agustus 2010

Urgensi Tarbiyah (Pendidikan) bagi Wanita


Ahamiyah At Tarbiyah lil Mar’ah Al Muslimah

Syahdan. Pada abad pertengahan, tepatnya tahun 1500 M, Eropa menyaksikan kebiadaban yang sangat tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan. Sebanyak sembilan juta perempuan dibakar hidup-hidup oleh sebuah Dewan Khusus, yang sebelumnya mengadakan pertemuan di Roma, Italia dengan sebuah kesimpulan bahwa “kaum perempuan tidak mempunyai jiwa”.

Di Yunani, Lembaga Filsafat dan Ilmu Pengetahuan telah memandang perempuan secara tiranis dan tidak memberinya kedudukan berarti di masyarakat. Mereka menganggap perempuan adalah makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Salah seorang tokoh zaman itu, Aristoteles, mengatakan, “Alam tidaklah membekali perempuan dengan persiapan ilmu pengetahuan (intelektual) yang patut dibanggakan. Karena itu pendidikan perempuan harus dibatasi dan diarahkan pada masalah yang berkaitan dengan rumah tangga, keibuan, kepengasuhan dan lain-lain”.

Sampai beberapa abad kemudian perempuan tetap menjadi obyek penderita dan dianggap sebagai makhluk yang sering membawa bencana, seperti ungkapan Socrates, ”Perempuan adalah sumber besar dari kekacauan dan perpecahan di dunia”. Bangsa Yunani dan Romawi berkeyakinan bahwa perempuan itu pikirannya lemah dan pendapatnya emosional. Karena itu mereka meremehkan dan tidak menerima pendapat mereka.

Islamlah yang kemudian datang untuk mengubah berbagai persepsi dan perlakuan yang sangat tidak adil terhadap kaum wanita. Islam datang untuk melakukan pemberdayaan terhadap poitensi kebaikan manusia, laki-laki maupun wanita, agar mereka menjadi hamba yang mentaati Tuhannya. Kejahiliyahan telah dihapuskan dengan cahaya Islam, lewat sentuhan tarbiyah Islamiyah yang dilaksanakan oleh Nabi kepada umatnya. Di sisi Nabi, kaum wanita amat dimuliakan.

Mereka mendapatkan tarbiyah dari Nabi saw, dengan diarahkan menuju kepada posisi dan peran yang adil antara laki-laki dan wanita. Tidak ada diskriminasi status kemanusiaan dan poitensi keduanya. Tarbiyah telah mencerahkan kaum wanita, sehingga mereka mendapatkan kesetaraan dalam harkat kemanusiaan dan potensi kebaikan.

Imam Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil, menyebutkan bahwa pada dasarnya kata Ar Rabb itu bermakna tarbiyah yang artinya menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaannya setahap demi setahap. Demikian pula Ar Raghib Al Asfahani dalam kitab Al Mufradat berpendapat bahwa Ar Rabb berarti tarbiyah yang bermakna menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai batas kesempurnaannya.

Ungkapan definisi dua ulama di atas menggambarkan bahwa tarbiyah adalah aktivitas yang berorientasi kepada perubahan, yaitu menuju perbaikan yang disertai dengan pentahapan dalam langkah. Secara lebih kongkrit, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud mengemukakan, pendidikan adalah cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.

Kegiatan tarbiyah merupakan sebuah proses yang bermaksud menghantarkan pelakunya menuju kepada sebuah “kesempurnaan” dalam batas kemanusiaan, yaitu usaha-usaha perbaikan diri dan umat untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Para akhwat muslimah adalah bagian dari masyarakat, sebagaimana juga laki-laki, yang harus dipersiapkan segala peran kebaikannya dalam sebuah proses tarbiyah.

Ada beberapa urhensi kegiatan tarbiyah bagi akhwat muslimah di era sekarang ini, di antaranya adalah:

1. Penanaman dan penjagaan iman memerlukan kesungguhan


Dalam kehidupan keseharian kita saat ini, terlalu banyak faktor yang bisa menggerogoti keimanan. Berbagai tawaran kegiatan yang berorientasi kepada pemenuhan nafsu syahwat telah dengan terang-terangan dipromosikan lewat media massa cetak dan elektronik. Orientasi hidup serba materi yang ditonjolkan lewat media iklan, pada akhirnya tertlah menggiring manusia kepada sifat keinginan pemenuhan kebutuhan secara instan, tanpa mempertimbangkan moralitas.

Derasnya arus informasi yang mengalir bak air bah, setiap hari, setiap jam, menit bahkan detik mampu menyeret masyarakat mengikuti pola hidup tertentu yang jauh dari nilai keimanan. Hedonisme dan konsumerisme sebagai anak kandung peradaban materi telah menjadi bagian dari gaya kehidupan, yang pada gilirannya melahirkan sejumlah patologi sosial. Keimanan akhirnya dipertaruhkan di ujung tanduk, setiap saat menemukan tawaran-tawaran sikap dan perilaku.

Penanaman nilai-nilai keimanan yang dilakukan dengan cara-cara yang konvensional selama ini bisa terkalahkan pengaruhnya oleh derasnya arus informasi yang secara konsisten menyapa mereka. Kaum muslimin diperintahkan pergi ke masjid setiap hari Jumat untuk mendengarkan khutbah dari para khathib yang senantiasa mengajak mereka kepada keimanan dan ketaqwaan. Majelis Ta’lim dan Tabligh Akbar senantiasa padat dihadiri kaum ibu di setiap tempat. Seminar-seminar dan diskusi keislaman mengupas berbagai tema juga marak dihadiri kaum muslimah. Seluruhnya itu tidak akan membawa dampak dan pengaruh yang kuat pada diri kaum muslimin dan muslimah apabila tidak dibarengi dengan proses penanaman nilai yang konsisten dan berkesinambungan.

Banyak kita jumpai pengajian yang lebih sarat unsur seremonial dan formalitas, bahkan kadang lebih banyak nuansa hiburan atau entertainment dibandingkan dengan esensi pembinaan yang bertahap dan berkelanjutan. Contoh kegiatan seperti adalah acara pengajian umum yang dikolaborasikan dengan pagelaran seni musik atau seni tradisonal; atau kolaborasi kiyai dengan artis dan bintang film dalam sebiuah pagelaran nada dan dakwah.

Berbagai kegiatan yang ditawarkan untuk penjagaan keimanan selama ini masih diwarnai oleh sejumlah kelemahan dalam unsur taujih (pengarahan) yang ditampakkan antara lain dari silabus materi yang terprogram, terstruktur dan berkelanjutan. Sebagian yang lain masih berkesan “daripada tidak sama sekali”, sehingga dihadirkan pengajian umum dan terbuka di berbagai tempat hiburan dan rekreasi. Di taman, di pabtai, di hotel, restoran dan mall.

Kegiatan tersbut bukan berarti salah atau tidak bermanfaat, sebab hal itu adalah sentiuhan awal untuk bisa berinteraksi dengan Islam. Yang sering menjadi permasalahan adalah tindak lanjut dari segala kegiatan dakwah yang banyak unsur seremonial dan bahlkan hiburan tersebut, untuk lebih membawa masyarakat berinteraksi secara mendalam dengan Islam. Masih banyak dijumpai kegiatan dakwah berhenti sampai di tingkat kegiatan itu sendiri.

Kegiatan untuk sentuhan awal dengan Islam yang penuh nuansa entretaoinment tersebut bisa tetap dilangsungkan, akan btetapi segera diti9ndaklanjuti dengan penawaran kegiatan tarbiyah, yang akan membawa masyarakat menuju kepada penanaman dan penjagaan nilai keimanan secara terprogram dan berkelanjutan. Tarbiyah menawarkan silabus yang mebuat peserta didik berada dalam suasana kesungguhna, bukan semata hiburan. Tarbiyah membawa masyarakat berada dalam suasana kedisiplinan dalam melakukan penjagaan diri, bukan semata-mata sebuah bentuk “mengisi waktu luang”.

Dengan proses tarbiyah itulah, sentuhan pembinaan keislaman akan bersifat sangat personal, ada perhatian, ada pengarahan, ada optimalisasi potensi diri, ada evaluasi atas proses dan hasil. Keseluruhan perangkat dalam tarbiyah akan mengjantarkan seseorang berada dalam suasana keterjagaan, saling memberikan pengaruh positif dan menguatkan dalam berbagai potensi kebaikan.

2. Amal Islami memerlukan ta’awun alat taqwa


Kaum muslimin dan muslimat dituntut oleh Allah menunaikan sejumlah amal, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Kewajiban individual seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya pada kenyataannya dituntut pula melibatkan sebuah sistem yang kondusif bagi terlaksananya berbagai amal tersebut. Apalagi kewajiban yang bersifat sistemik, seperti dakwah, amar makruf, nahi munkar, jihad dan lain sebagainya, mutlak memerlukan ketersediaan perangkat sistem yang memungkinkan terlaksananya sejumlah amal terserbut.

Perhatikanlah shalat yang menjadi tiang agama, kewajibannya melekatkan secara individual kepada setiap muslim dan muslimat. Akan tetapi dituntunkan untuk berjama’ah karena akan mendatangkan kebaikan yang berlipat ganda. Dengan shalat berjama’ah akan membawa sebuah suasana yang kondusif untuk pendekatan diri kepada Allah. Demikian pula puasa Ramadhan yang kewajibannya diberikan secara individual, tatkala dilaksanakan secara bersama-sama oleh kaum muslimin, tampaklah menjadi ibadah yang lebih ringan dilaksanakan.

Kaum muslimin ringan melaksanakan sunnah seperti tarawih di malam hari, ringan melaksanakan makan sahur menjelamng Subuh, juga merasa lebih ringan dalam menjaga diri dari makan dan minum tatkala siang hari Ramadhan. Hal ini karena ada suasana kebersamaan dengan sebagian besar masyarakat, sehingga saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Bisa dibandingkan dengan puasa sunnah atau puasa qadha Ramadhan yang dilaksanakan secara sendirian tanpa teman, akan terasa lebih berat dalam penunaian.

Jika kewajiban individual saja menjadi lebih kondusif apabila disertai dengan kebersamaan, apalagi kewajiban dalam amal Islami yang jelas-jelas berbentuk kolektif. Kewajiban dakwah bisa dilakukan oleh orang per orang, akan tetapi single fighter dalam medan dakwah tidak akan mampu banyak melakukan perubahan. Sebaik apapun seorang muslim, tatkala mengelola dakwah sendirian akan cepat ,mengalami kelelahan dan kejenuhan. Belum lagi berbicara tentang hasil dan cakupan atau ruang lingkup kegiatan, apakah yang bisa dilakukan oelh satu orang dibandingkan dengan luasnya spektrum permasalahan dakwah itu sendiri? Betapa banyak dan luas medan kemungkaran, tidak mungkin dicegah dan diselesaikan secara individual.

Al Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyah membagi pelaku kemungkaran menjadi dua golongan. Pertama, pelaku individual, dimana mereka tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa orang lain mengikuti dirinya. Mereka ini adalah rakyat biasa, orang lemah dari segi kekuasaan. Para ulama bersepakat wajibnya melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar kepada golongan pertama ini, bagi orang yang mampu melaksanakan, menyaksikan dan mendengar ucapannya.

Golongan kedua, pelaku kemungkaran yang berkelompok dan memiliki kekuasaan untuk mengajak orang lain. Para ulama berbeda pendapat mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar kepada mereka, akan tetapi jumhur mewajibkan mencegah kemungkaran tersebut dengan sayarat memiliki kekuatan atau pendukung yang mencukupi. Dengan kata lain, Al Mawardi ingin mengungkapkan perlunya ada sebuah jama’ah atau kelompok yang melakukan pencegahan kemungkaran mereka secara sistemik. Jama’ah ini tidak mungkin bisa melaksanakan kewajiban nahi munkar apabila tidak memiliki kekuatan yang minimal sepadan dengan pelaku kemungkaran.

Akan tetapi, masyarakat Islam di sekitar kita bukanlah masyarakat di zaman kenabian. Di zaman Nabi dan para sahabat, kebersamaan terjadi dengan demikian erat. Mereka adalah masyarakat yang sangat kuat mengamalkan ayat Allah:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Al Maidah: 2).

Amal Islami memerlukan ta’awun atau tolong menolong dalam aplikasinya. Untuk bisa membentuk kebersamaan yang memungkinkan adanya proses ta’awun dalam kebaikan, diperlukanlah tarbiyah. Di zaman kenabian, hasil tarbiyah Rasul kepada para sahabat telah membuat mereka bisa menjadi satu kekuatan yang solid untuk menunaikan ketaatan. Di zaman kita, tanpa adanya proses tarbiyah, kaum muslimin dan muslimat hanya berbentuk kumpulan individu yang tidak terstruktur dan tidak terkoordinasikan potensinya.

Di sinilah pentingnya tarbiyah nbagi akhwat muslimah, agar terbentuk kebersamaan di antara mereka dalam menunaiakan amal Islami di berbagai boidang. Tarbiyah telah menyatukan visi dan misi para pelaku dakwah, sehingga mereka bekerja dalam suatu tatanan dan struktur yang rapi dan solid untuk saling membabntu dan menguatkan dalam kebaikan dan taqwa.

3. I’dadul Mar’ah Muslimah adalah keharusan dan tuntutan zaman


Maraknya arus sekularisasi dalam berbagai bidang kehidupan saat ini, memerlukan antisipasi dari semua pihak. Lihat saja betapa kehidupan para wanita Islam yang diarahkan untuk semakin menjauh dari Islam. Atas nama kebebasan berekspresi dan berpendapat, muncullah aneka rupa pemikiran bebas dan liberal, sebagaimana muncul pula pornografi dan pornoaksi atas nama seni.

Sedemikian gencar gugatan terhadap kemapanan pemikiran Islam selama ini, oleh berbagai kalangan yang menghendaki liberalisasi. Nash-nash tentang wanita yang dibongkarpaksa oleh ide pembebasan perempuan, telah menjadi salah kaparah dalam aplikasinya. Gerakan yang semula bertujuan memuliakan wanita, telah lancang menganulir wilayah agama, bukan pada pemahamannya, akan tetapi dari segi posisi dan esensi ajarannya.

Pada sisi yang lain, banyak kaum wanita dijadikan korban eksploitasi kapitalistik, menjadi bahan iklan, promosi, bahkan ikon pariwaisata dan devisa negara. Pada akhirnya posisi kaum wanita terpinggirkan menjadi sekedar hiasan dan promosi, bukan menjadi pelaku pembangunan yang memiliki keasadaran aktif dalam kontribusi. Kondisi seperti ini amat mebahayakan., apabila dilihat dari kacamata syar’i yang menghendaki kaum muslimah menjadi pelaku perbaikan masyarakat.

Pembelaan yang selama ini coba dilakukan oleh sekelompok kalangan aktivis dakwah, dikotakkan pada terminologi kelamin. “Itu kan pendapat laki-laki”, kata mereka yang merasa termarginalkan posisinya oleh faktor agama. Istilah bias gender menjadi absah untuk dilekatkan pada apa saja pendapat agama yang tidak bersesuaian dengan misi dan kehendak mereka. “Tafsir laki-laki,” demikian istilah yang diresmikan atas setiap penafsiran ayat Al Qur’an yang tidak mendukung keinginan gerakan mereka.

Di sinilah pentingnya para akhwat muslimah melakukan pembelaan terhadap kemurnian ajaran syaroiat Islam. Para akhwat harus disipakan dengan kegiatan tarbiyah yang terprogram, untuk menjadikan mereka pelaku dakwah, pelaku pembangunan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Para akhwat muslimah dicetak menjadi anasir gerakan pembaaruan moralitas bangsa, yang dengan kesadaran aktif melakukan tindakan perbaikan di tengah masyarakat. Di sinilah pentingnya tarbiyah bagi upaya penyiapan akhwat sebagai pelaku islah (reformasi).

4. Mempersiapkan generasi masa depan shalih memerlukan ibu-ibu yang shalihah

Proses pewarisan nilai kepada generasi baru, senantiasa memerlukan kesalihan pelakunya. Artinya, untuk melahirkan sebuah generasi yang unggul dan berkualitas, memerlukan sososk ibu yang aberkualitas pula. Para ibu inilah yang akan sanggiup melakukan pewarisan nilai kebaikan secara generatif kepada anak-anaknya.

Hal ini tidak dimaksudkan untuk menafikan peran bapak bagi anak-anaknya. Tuntutatn dalam Islam, wanita shalihah adalah pasangan bagi laki-laki shalih. Artinya, pada saat Islam menghendaki wanita menjadi shalihah, adalah tuntutan yang sama terhadap laki-laki agar menjadi shalih. Ibu shalihah akan kesulitan melakukan peran pembinaan generasi, apabila tidak didukung oleh bapak yang shalih.

Para ibu tidak akan menjadi shalihah secara tiba-tiba, kendati fitrah manusia lebih mengarahkan kepada kebaikan. Penggerusan nilai-nilai kebaikan bisa terjadi setiap waktu lewat berbagai media informasi. Untuk itulah diperlukan sebuah tarbiyah yang menghantarkan para ibu siap melahirkan dan mendidik generasi dengan baik, sehoingga bterbtuklah generasi masa depan yang diharapkan Islam.

Marilah sejenak kita lihat kondisi masyarakat kita. Kenakalan buka n lagi dilektakan dengan pemuda atau remaja. Kini anak-anak telah dilibatkan atau terlibat dalam sejumlah kejahatan. Sejak kejahatan seksual, yang dilakukan oleh para pemilik kapital, dengan jelan menjual gadis-gadis di bwah umur menjadi pelacur. Ada pula kejahat5an seksual yang dilakukan oleh anak-anak dalam bentuk perkosaan atau pelecehan seksual, yang disebabkan oleh kebiasaan melihat film porno. Ada kejahatan kriminal, dimana anak-anak terlibat tindak poenipuan dan pencurian. Ada kejahatan moral dalam bentuk kencaduan miras dan narkoba sejak anak-anak.

Dimanakah peran para pendidik genertasi dalam kejadian kejahatan oleh anak-anak atau remaja tersebut? Adakah ibu-ibu yang shalihah dan bapak yang shalih mencetak anak-anak yang memenuhi jadual hidupnya dengan permasalahan dan kejahatan? Cukupkah kita menyal;ahkan sistem dan masyarakat sebagai biang keladi munculnya kenakalan dan kejahatan pada anak-anak?

Ibu yang mengandung dan melahirkan, adalah pihak yang amat dekat secara emosiaonal dengan anak-anak. Apabila kesadaran pewarisan nilai dimiliki oelh para ibu shalihah, ia akan memantau perkembangan anak sehingga mampu mendeteksi kecwenderungan yang bterjadi pada anak-anaknya. Kehangatan kasih sayang di dalam rumah tangga, tidak akan melahirkan pemberontakan yang diekspresikan lewat berbagai penyimpangan. Anak-anak akan cenderung memiliki sikap yang hangat dan bersahabat pula dengan keluarga.

Pernah tarbiyah menjadi sangat berarti dalam masalah ini, untuk mempersiapkan para ibu agar memahami kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap masa depan bangsa, lewat pendidikan generasi. Tarbiyah menyiapkan kaum muslimah bersiap senantiasa menjadi ibu yang penuh kehangatan dan kasih sayang terhadap anak-anak yang dilahirkannya. Mereka tidak cukup menjadi ibu yang baik hanya dari segi pengalaman belaka. Diperlukan sejumlah nilmu dan ketrampilan untuk bisa menjadi pendidik generasi yang berkualitas.

5. Mar’ah Muslimah adalah unsur asasi dalam membangun masyarakat

Tatkala Allah Ta’ala menyebutkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dieksplisitkan dua jenis kelamin sekaligus, laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan betapa keduanya, laki-laki dan perempuan adalah unsur asasi dalam melakukan pembangunan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (At Taubah: 71).

Artinya, tidak cukup mentarbiyah kaum l;aki-laki untulk melakukan perbaikan masyarakat. Kaum muslimah harus dipersiapkan menjadi pelaku perbaikan masyarakat dengan proses tarbiyah Islamiyah. Jika kaum laki-laki disiapkan sehingga ,menjadi shalih, akan timpang apabila tidak dibarengi dengan kebaikan kaum wanita. Demikian pula berlaku sebaliknya. Perbaikan masyarakat tidak mungkin dilakukan separohnya saja, dengan meninggalkan separoh nyang lain.

Para wanita muslimah bukanlah suplemen atau pelengkap dalam perbaikan masyarakat. Mereka adalah pelaku aktif sebagaimana kaum laki-laki bertindak sebagai subyek npembangunan. Justru karena keduanya merupakan unsur asasi dalam perbaikan, maka tarbiyah Islamiyah yang menghantarkan kepada kebaikan kepribadian juga harus dilakukan kepada keduanya. Tidak mungkin melakukan perbaikan masyarakat, dengan pelaku yang penuh cacat dan kejelekan.

Jika para wanita muslimah tidak dipersiapkan melalui kegiatan tarbiyah, akan menyebabkan mereka senantiasa menjadi korban kemajuan zaman. Perempuan dari zaman ke zaman dihadapkan pada sejarah yang buram, kecuali dalam Islam mereka mendaptkan kejayaan. Islam menyediakan proses tarbiyah yang membuat mereka menjadi dimuliakan dengan peran yang si=gnifikan untuk melakukan perbaikan.

6. Fitrah Muslimah memerlukan optimalisasi untuk menjadi pilar-pilar kehidupan

Atas bentukan sosial (social construction), banyak wanita yang merasa lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Ada unsur pemalu, perasa, ditambah dengan sejumlah patokan nilai dan persepsi kultural masyarakat byang tidak menghendaki wanita menjadi pelaku aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, akhirnya para akhwat muslimah lebih cenderung mengalah.

Sifatnya yang pemalu, banyak membuat para akhwat cenderung diam dan tidak mengekspresikan kehendak dan pendapat dirinya tatkala menghadapi perbedaan. Ada sesuatu yang menghambat dirinya untuk melakukan peran yang lebih signifikan dalam kehidupan. Sebagiannya karena takut salah, atau persepsi fikih yang tidak tepat, atau sekedar merasa tidak pantas saja, sehingga pilihannya lebih banyak diam dan tidak menonjolkan kapasitas dirinya.

Memang terdapat sejumlah perbedaan anatomis dan fisiologis pada laki-laki dan wanita, yang ternyata membawa pula konsekuensi perbedaan dalam beberapa karakteristik dan sifatnya. Walaupun perbedaan pokok susunan syaraf di antara laki-laki dan perempuan tidak berarti, tapi ada suatu kecenderungan dalam perangai yang sifatnya berlainan. Menurut Abbas Kararah (1995) bahwa kelembutan, kehalusan watak dan kelebihan perasaan lebih dominan terdapat pada perempuan, sedangkan kekerasan, pendirian teguh, kecerdikan menguasai hawa nafsu merupakan ciri-ciri watak lelaki.

Di sisi lain intuisi perempuan lebih tajam, kemampuan ingatan perempuan amat kuat. Hal lain dibuktikan dengan melihat kenyataan bahwa para aktris film lebih cepat menghafal teks skenario dari pada para aktornya. Penelitian Hadiyono dan Kahn (1987) menemukan bahwa laki-laki secara signifikan menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada stabilitas emosi, dominasi, keberanian dan kepuasan diri dari pada perempuan. Newcomb et.al (1986) juga melaporkan persepsi perempuan terhadap kejadian-kejadian hidup lebih ekstrim dari pada laki-laki. Kejadian-kejadian hidup lebih dipersepsikan sebagai hal yang tidak mengenakkan bagi perempuan. Diener et.al (1985) juga menemukan bahwa perempuan memang menunjukan intensitas emosi (positive-negative affect) yang lebih ekstrim dibanding laki-laki.

Dengan memahami beberapa bentuk perbedaan yang biasa muncul pada diri laki-laki dan perempuan, tarbiyah bagi wanita mulsimah perlu mendapatkan perhatian yang spesifik, sebagaimana pula pentarbiyahan bagi kaum laki-laki yang membutuhkan sejumlah spesifikasi, justru karena memang secara nyata ada bagian yang berbeda.

Demikianlah beberapa urgensi tarbiyah bagi wanita muslimah. Tarbiyah telah mengangkat derajat wanita muslimah dalam kapasitas sebagai subyek yang mandiri, memiliki kesadaran aktif dan potensi yang penuh untuk melakukan pernbaikan diri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Sangat berbeda dengan persepsi berbagai ajartan agama dan ideologi yang meletakkanj perempuan pada posisi sangat tidak manusiawi.

Agama Yahudi menganggap perempuan selalu dalam kutukan Dewa, selalu berdosa sejak lahir maka harus dihukum, perempuan hanyalah hiasan rumah belaka. Perempuan hanyalah sebagai budak, orangtuanya berhak penuh untuk menjual kepada siapa saja, dan kehadiranya merupakan laknat bagi alam semesta. Sebagian tradisi Kristiani juga mempersepsikan perempuan sebagai penyebab kehancuran umat, sumber segala dosa dan kesalahan, serta tidak berhak untuk mendapat kesempatan dalam segala urusan karena ia mempunyai fikiran yang lemah.

Menurut Filsafat Marxisme, perempuan adalah milik kaum laki-laki. Perempuan dibebani untuk bekerja membanting tulang seperti selayaknya laki-laki sehingga kaum perempuan tidak bisa melakukan tugas sebagai isteri, ibu bagi anak-anaknya, dan menjaga rumah tangga dari kehancuran. Filsafat Barat Amerika, menganggap perempuan harus melepaskan tugas keperempuanannya sehingga tidak ubahnya mereka sebagai barang dagangan seperti mobil, kulkas dan televisi. Gambar mereka terpajang di sampul-sampul majalah dan tabloid bahkan foto-foto bugil mereka dengan sangat mudah dilihat lewat internet maupun media yang lain.
Bettany, seorang pastur, dalam bukunya, “Agama-agama Dunia” menuturkan bahwa “karakter perempuan tidak terukur dalamnya, bagai ikan yang berlatih dalam air, dan menurut tabiatnya mereka selalu menggoda siapa saja yang dijumpainya. Selalu berdusta dengan siapa saja serta selalu memutar balikkan kebenaran dan berkata kebohongan.”

Pastur St. John Chrysston, berpendapat, “perempuan adalah makhluk yang paling jahat, patut mendapat kesengsaraan, dia benar-benar penggoda dan menambah penyakit.” Sedangkan Pastur St. Clement dari Aleksandria, “Tidak ada satupun yang dapat mendatangkan aib bagi laki-laki, walau dengan berbagai alasan, kecuali banyak dilakukan oleh perempuan.”
Bagaimana mungkin wanita muslimah tidak terlibat dalam tarbiyah Islamiyah, jika posisi mereka terlecehkan dalam berbagai sistem hidup masyarakat di luar Islam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar