Rabu, 04 Agustus 2010

Urgensi Tarbiyah (Pendidikan) bagi Wanita


Ahamiyah At Tarbiyah lil Mar’ah Al Muslimah

Syahdan. Pada abad pertengahan, tepatnya tahun 1500 M, Eropa menyaksikan kebiadaban yang sangat tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan. Sebanyak sembilan juta perempuan dibakar hidup-hidup oleh sebuah Dewan Khusus, yang sebelumnya mengadakan pertemuan di Roma, Italia dengan sebuah kesimpulan bahwa “kaum perempuan tidak mempunyai jiwa”.

Di Yunani, Lembaga Filsafat dan Ilmu Pengetahuan telah memandang perempuan secara tiranis dan tidak memberinya kedudukan berarti di masyarakat. Mereka menganggap perempuan adalah makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Salah seorang tokoh zaman itu, Aristoteles, mengatakan, “Alam tidaklah membekali perempuan dengan persiapan ilmu pengetahuan (intelektual) yang patut dibanggakan. Karena itu pendidikan perempuan harus dibatasi dan diarahkan pada masalah yang berkaitan dengan rumah tangga, keibuan, kepengasuhan dan lain-lain”.

Sampai beberapa abad kemudian perempuan tetap menjadi obyek penderita dan dianggap sebagai makhluk yang sering membawa bencana, seperti ungkapan Socrates, ”Perempuan adalah sumber besar dari kekacauan dan perpecahan di dunia”. Bangsa Yunani dan Romawi berkeyakinan bahwa perempuan itu pikirannya lemah dan pendapatnya emosional. Karena itu mereka meremehkan dan tidak menerima pendapat mereka.

Islamlah yang kemudian datang untuk mengubah berbagai persepsi dan perlakuan yang sangat tidak adil terhadap kaum wanita. Islam datang untuk melakukan pemberdayaan terhadap poitensi kebaikan manusia, laki-laki maupun wanita, agar mereka menjadi hamba yang mentaati Tuhannya. Kejahiliyahan telah dihapuskan dengan cahaya Islam, lewat sentuhan tarbiyah Islamiyah yang dilaksanakan oleh Nabi kepada umatnya. Di sisi Nabi, kaum wanita amat dimuliakan.

Mereka mendapatkan tarbiyah dari Nabi saw, dengan diarahkan menuju kepada posisi dan peran yang adil antara laki-laki dan wanita. Tidak ada diskriminasi status kemanusiaan dan poitensi keduanya. Tarbiyah telah mencerahkan kaum wanita, sehingga mereka mendapatkan kesetaraan dalam harkat kemanusiaan dan potensi kebaikan.

Imam Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil, menyebutkan bahwa pada dasarnya kata Ar Rabb itu bermakna tarbiyah yang artinya menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaannya setahap demi setahap. Demikian pula Ar Raghib Al Asfahani dalam kitab Al Mufradat berpendapat bahwa Ar Rabb berarti tarbiyah yang bermakna menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai batas kesempurnaannya.

Ungkapan definisi dua ulama di atas menggambarkan bahwa tarbiyah adalah aktivitas yang berorientasi kepada perubahan, yaitu menuju perbaikan yang disertai dengan pentahapan dalam langkah. Secara lebih kongkrit, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud mengemukakan, pendidikan adalah cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.

Kegiatan tarbiyah merupakan sebuah proses yang bermaksud menghantarkan pelakunya menuju kepada sebuah “kesempurnaan” dalam batas kemanusiaan, yaitu usaha-usaha perbaikan diri dan umat untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Para akhwat muslimah adalah bagian dari masyarakat, sebagaimana juga laki-laki, yang harus dipersiapkan segala peran kebaikannya dalam sebuah proses tarbiyah.

Ada beberapa urhensi kegiatan tarbiyah bagi akhwat muslimah di era sekarang ini, di antaranya adalah:

1. Penanaman dan penjagaan iman memerlukan kesungguhan


Dalam kehidupan keseharian kita saat ini, terlalu banyak faktor yang bisa menggerogoti keimanan. Berbagai tawaran kegiatan yang berorientasi kepada pemenuhan nafsu syahwat telah dengan terang-terangan dipromosikan lewat media massa cetak dan elektronik. Orientasi hidup serba materi yang ditonjolkan lewat media iklan, pada akhirnya tertlah menggiring manusia kepada sifat keinginan pemenuhan kebutuhan secara instan, tanpa mempertimbangkan moralitas.

Derasnya arus informasi yang mengalir bak air bah, setiap hari, setiap jam, menit bahkan detik mampu menyeret masyarakat mengikuti pola hidup tertentu yang jauh dari nilai keimanan. Hedonisme dan konsumerisme sebagai anak kandung peradaban materi telah menjadi bagian dari gaya kehidupan, yang pada gilirannya melahirkan sejumlah patologi sosial. Keimanan akhirnya dipertaruhkan di ujung tanduk, setiap saat menemukan tawaran-tawaran sikap dan perilaku.

Penanaman nilai-nilai keimanan yang dilakukan dengan cara-cara yang konvensional selama ini bisa terkalahkan pengaruhnya oleh derasnya arus informasi yang secara konsisten menyapa mereka. Kaum muslimin diperintahkan pergi ke masjid setiap hari Jumat untuk mendengarkan khutbah dari para khathib yang senantiasa mengajak mereka kepada keimanan dan ketaqwaan. Majelis Ta’lim dan Tabligh Akbar senantiasa padat dihadiri kaum ibu di setiap tempat. Seminar-seminar dan diskusi keislaman mengupas berbagai tema juga marak dihadiri kaum muslimah. Seluruhnya itu tidak akan membawa dampak dan pengaruh yang kuat pada diri kaum muslimin dan muslimah apabila tidak dibarengi dengan proses penanaman nilai yang konsisten dan berkesinambungan.

Banyak kita jumpai pengajian yang lebih sarat unsur seremonial dan formalitas, bahkan kadang lebih banyak nuansa hiburan atau entertainment dibandingkan dengan esensi pembinaan yang bertahap dan berkelanjutan. Contoh kegiatan seperti adalah acara pengajian umum yang dikolaborasikan dengan pagelaran seni musik atau seni tradisonal; atau kolaborasi kiyai dengan artis dan bintang film dalam sebiuah pagelaran nada dan dakwah.

Berbagai kegiatan yang ditawarkan untuk penjagaan keimanan selama ini masih diwarnai oleh sejumlah kelemahan dalam unsur taujih (pengarahan) yang ditampakkan antara lain dari silabus materi yang terprogram, terstruktur dan berkelanjutan. Sebagian yang lain masih berkesan “daripada tidak sama sekali”, sehingga dihadirkan pengajian umum dan terbuka di berbagai tempat hiburan dan rekreasi. Di taman, di pabtai, di hotel, restoran dan mall.

Kegiatan tersbut bukan berarti salah atau tidak bermanfaat, sebab hal itu adalah sentiuhan awal untuk bisa berinteraksi dengan Islam. Yang sering menjadi permasalahan adalah tindak lanjut dari segala kegiatan dakwah yang banyak unsur seremonial dan bahlkan hiburan tersebut, untuk lebih membawa masyarakat berinteraksi secara mendalam dengan Islam. Masih banyak dijumpai kegiatan dakwah berhenti sampai di tingkat kegiatan itu sendiri.

Kegiatan untuk sentuhan awal dengan Islam yang penuh nuansa entretaoinment tersebut bisa tetap dilangsungkan, akan btetapi segera diti9ndaklanjuti dengan penawaran kegiatan tarbiyah, yang akan membawa masyarakat menuju kepada penanaman dan penjagaan nilai keimanan secara terprogram dan berkelanjutan. Tarbiyah menawarkan silabus yang mebuat peserta didik berada dalam suasana kesungguhna, bukan semata hiburan. Tarbiyah membawa masyarakat berada dalam suasana kedisiplinan dalam melakukan penjagaan diri, bukan semata-mata sebuah bentuk “mengisi waktu luang”.

Dengan proses tarbiyah itulah, sentuhan pembinaan keislaman akan bersifat sangat personal, ada perhatian, ada pengarahan, ada optimalisasi potensi diri, ada evaluasi atas proses dan hasil. Keseluruhan perangkat dalam tarbiyah akan mengjantarkan seseorang berada dalam suasana keterjagaan, saling memberikan pengaruh positif dan menguatkan dalam berbagai potensi kebaikan.

2. Amal Islami memerlukan ta’awun alat taqwa


Kaum muslimin dan muslimat dituntut oleh Allah menunaikan sejumlah amal, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Kewajiban individual seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya pada kenyataannya dituntut pula melibatkan sebuah sistem yang kondusif bagi terlaksananya berbagai amal tersebut. Apalagi kewajiban yang bersifat sistemik, seperti dakwah, amar makruf, nahi munkar, jihad dan lain sebagainya, mutlak memerlukan ketersediaan perangkat sistem yang memungkinkan terlaksananya sejumlah amal terserbut.

Perhatikanlah shalat yang menjadi tiang agama, kewajibannya melekatkan secara individual kepada setiap muslim dan muslimat. Akan tetapi dituntunkan untuk berjama’ah karena akan mendatangkan kebaikan yang berlipat ganda. Dengan shalat berjama’ah akan membawa sebuah suasana yang kondusif untuk pendekatan diri kepada Allah. Demikian pula puasa Ramadhan yang kewajibannya diberikan secara individual, tatkala dilaksanakan secara bersama-sama oleh kaum muslimin, tampaklah menjadi ibadah yang lebih ringan dilaksanakan.

Kaum muslimin ringan melaksanakan sunnah seperti tarawih di malam hari, ringan melaksanakan makan sahur menjelamng Subuh, juga merasa lebih ringan dalam menjaga diri dari makan dan minum tatkala siang hari Ramadhan. Hal ini karena ada suasana kebersamaan dengan sebagian besar masyarakat, sehingga saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Bisa dibandingkan dengan puasa sunnah atau puasa qadha Ramadhan yang dilaksanakan secara sendirian tanpa teman, akan terasa lebih berat dalam penunaian.

Jika kewajiban individual saja menjadi lebih kondusif apabila disertai dengan kebersamaan, apalagi kewajiban dalam amal Islami yang jelas-jelas berbentuk kolektif. Kewajiban dakwah bisa dilakukan oleh orang per orang, akan tetapi single fighter dalam medan dakwah tidak akan mampu banyak melakukan perubahan. Sebaik apapun seorang muslim, tatkala mengelola dakwah sendirian akan cepat ,mengalami kelelahan dan kejenuhan. Belum lagi berbicara tentang hasil dan cakupan atau ruang lingkup kegiatan, apakah yang bisa dilakukan oelh satu orang dibandingkan dengan luasnya spektrum permasalahan dakwah itu sendiri? Betapa banyak dan luas medan kemungkaran, tidak mungkin dicegah dan diselesaikan secara individual.

Al Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyah membagi pelaku kemungkaran menjadi dua golongan. Pertama, pelaku individual, dimana mereka tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa orang lain mengikuti dirinya. Mereka ini adalah rakyat biasa, orang lemah dari segi kekuasaan. Para ulama bersepakat wajibnya melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar kepada golongan pertama ini, bagi orang yang mampu melaksanakan, menyaksikan dan mendengar ucapannya.

Golongan kedua, pelaku kemungkaran yang berkelompok dan memiliki kekuasaan untuk mengajak orang lain. Para ulama berbeda pendapat mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar kepada mereka, akan tetapi jumhur mewajibkan mencegah kemungkaran tersebut dengan sayarat memiliki kekuatan atau pendukung yang mencukupi. Dengan kata lain, Al Mawardi ingin mengungkapkan perlunya ada sebuah jama’ah atau kelompok yang melakukan pencegahan kemungkaran mereka secara sistemik. Jama’ah ini tidak mungkin bisa melaksanakan kewajiban nahi munkar apabila tidak memiliki kekuatan yang minimal sepadan dengan pelaku kemungkaran.

Akan tetapi, masyarakat Islam di sekitar kita bukanlah masyarakat di zaman kenabian. Di zaman Nabi dan para sahabat, kebersamaan terjadi dengan demikian erat. Mereka adalah masyarakat yang sangat kuat mengamalkan ayat Allah:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Al Maidah: 2).

Amal Islami memerlukan ta’awun atau tolong menolong dalam aplikasinya. Untuk bisa membentuk kebersamaan yang memungkinkan adanya proses ta’awun dalam kebaikan, diperlukanlah tarbiyah. Di zaman kenabian, hasil tarbiyah Rasul kepada para sahabat telah membuat mereka bisa menjadi satu kekuatan yang solid untuk menunaikan ketaatan. Di zaman kita, tanpa adanya proses tarbiyah, kaum muslimin dan muslimat hanya berbentuk kumpulan individu yang tidak terstruktur dan tidak terkoordinasikan potensinya.

Di sinilah pentingnya tarbiyah nbagi akhwat muslimah, agar terbentuk kebersamaan di antara mereka dalam menunaiakan amal Islami di berbagai boidang. Tarbiyah telah menyatukan visi dan misi para pelaku dakwah, sehingga mereka bekerja dalam suatu tatanan dan struktur yang rapi dan solid untuk saling membabntu dan menguatkan dalam kebaikan dan taqwa.

3. I’dadul Mar’ah Muslimah adalah keharusan dan tuntutan zaman


Maraknya arus sekularisasi dalam berbagai bidang kehidupan saat ini, memerlukan antisipasi dari semua pihak. Lihat saja betapa kehidupan para wanita Islam yang diarahkan untuk semakin menjauh dari Islam. Atas nama kebebasan berekspresi dan berpendapat, muncullah aneka rupa pemikiran bebas dan liberal, sebagaimana muncul pula pornografi dan pornoaksi atas nama seni.

Sedemikian gencar gugatan terhadap kemapanan pemikiran Islam selama ini, oleh berbagai kalangan yang menghendaki liberalisasi. Nash-nash tentang wanita yang dibongkarpaksa oleh ide pembebasan perempuan, telah menjadi salah kaparah dalam aplikasinya. Gerakan yang semula bertujuan memuliakan wanita, telah lancang menganulir wilayah agama, bukan pada pemahamannya, akan tetapi dari segi posisi dan esensi ajarannya.

Pada sisi yang lain, banyak kaum wanita dijadikan korban eksploitasi kapitalistik, menjadi bahan iklan, promosi, bahkan ikon pariwaisata dan devisa negara. Pada akhirnya posisi kaum wanita terpinggirkan menjadi sekedar hiasan dan promosi, bukan menjadi pelaku pembangunan yang memiliki keasadaran aktif dalam kontribusi. Kondisi seperti ini amat mebahayakan., apabila dilihat dari kacamata syar’i yang menghendaki kaum muslimah menjadi pelaku perbaikan masyarakat.

Pembelaan yang selama ini coba dilakukan oleh sekelompok kalangan aktivis dakwah, dikotakkan pada terminologi kelamin. “Itu kan pendapat laki-laki”, kata mereka yang merasa termarginalkan posisinya oleh faktor agama. Istilah bias gender menjadi absah untuk dilekatkan pada apa saja pendapat agama yang tidak bersesuaian dengan misi dan kehendak mereka. “Tafsir laki-laki,” demikian istilah yang diresmikan atas setiap penafsiran ayat Al Qur’an yang tidak mendukung keinginan gerakan mereka.

Di sinilah pentingnya para akhwat muslimah melakukan pembelaan terhadap kemurnian ajaran syaroiat Islam. Para akhwat harus disipakan dengan kegiatan tarbiyah yang terprogram, untuk menjadikan mereka pelaku dakwah, pelaku pembangunan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Para akhwat muslimah dicetak menjadi anasir gerakan pembaaruan moralitas bangsa, yang dengan kesadaran aktif melakukan tindakan perbaikan di tengah masyarakat. Di sinilah pentingnya tarbiyah bagi upaya penyiapan akhwat sebagai pelaku islah (reformasi).

4. Mempersiapkan generasi masa depan shalih memerlukan ibu-ibu yang shalihah

Proses pewarisan nilai kepada generasi baru, senantiasa memerlukan kesalihan pelakunya. Artinya, untuk melahirkan sebuah generasi yang unggul dan berkualitas, memerlukan sososk ibu yang aberkualitas pula. Para ibu inilah yang akan sanggiup melakukan pewarisan nilai kebaikan secara generatif kepada anak-anaknya.

Hal ini tidak dimaksudkan untuk menafikan peran bapak bagi anak-anaknya. Tuntutatn dalam Islam, wanita shalihah adalah pasangan bagi laki-laki shalih. Artinya, pada saat Islam menghendaki wanita menjadi shalihah, adalah tuntutan yang sama terhadap laki-laki agar menjadi shalih. Ibu shalihah akan kesulitan melakukan peran pembinaan generasi, apabila tidak didukung oleh bapak yang shalih.

Para ibu tidak akan menjadi shalihah secara tiba-tiba, kendati fitrah manusia lebih mengarahkan kepada kebaikan. Penggerusan nilai-nilai kebaikan bisa terjadi setiap waktu lewat berbagai media informasi. Untuk itulah diperlukan sebuah tarbiyah yang menghantarkan para ibu siap melahirkan dan mendidik generasi dengan baik, sehoingga bterbtuklah generasi masa depan yang diharapkan Islam.

Marilah sejenak kita lihat kondisi masyarakat kita. Kenakalan buka n lagi dilektakan dengan pemuda atau remaja. Kini anak-anak telah dilibatkan atau terlibat dalam sejumlah kejahatan. Sejak kejahatan seksual, yang dilakukan oleh para pemilik kapital, dengan jelan menjual gadis-gadis di bwah umur menjadi pelacur. Ada pula kejahat5an seksual yang dilakukan oleh anak-anak dalam bentuk perkosaan atau pelecehan seksual, yang disebabkan oleh kebiasaan melihat film porno. Ada kejahatan kriminal, dimana anak-anak terlibat tindak poenipuan dan pencurian. Ada kejahatan moral dalam bentuk kencaduan miras dan narkoba sejak anak-anak.

Dimanakah peran para pendidik genertasi dalam kejadian kejahatan oleh anak-anak atau remaja tersebut? Adakah ibu-ibu yang shalihah dan bapak yang shalih mencetak anak-anak yang memenuhi jadual hidupnya dengan permasalahan dan kejahatan? Cukupkah kita menyal;ahkan sistem dan masyarakat sebagai biang keladi munculnya kenakalan dan kejahatan pada anak-anak?

Ibu yang mengandung dan melahirkan, adalah pihak yang amat dekat secara emosiaonal dengan anak-anak. Apabila kesadaran pewarisan nilai dimiliki oelh para ibu shalihah, ia akan memantau perkembangan anak sehingga mampu mendeteksi kecwenderungan yang bterjadi pada anak-anaknya. Kehangatan kasih sayang di dalam rumah tangga, tidak akan melahirkan pemberontakan yang diekspresikan lewat berbagai penyimpangan. Anak-anak akan cenderung memiliki sikap yang hangat dan bersahabat pula dengan keluarga.

Pernah tarbiyah menjadi sangat berarti dalam masalah ini, untuk mempersiapkan para ibu agar memahami kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap masa depan bangsa, lewat pendidikan generasi. Tarbiyah menyiapkan kaum muslimah bersiap senantiasa menjadi ibu yang penuh kehangatan dan kasih sayang terhadap anak-anak yang dilahirkannya. Mereka tidak cukup menjadi ibu yang baik hanya dari segi pengalaman belaka. Diperlukan sejumlah nilmu dan ketrampilan untuk bisa menjadi pendidik generasi yang berkualitas.

5. Mar’ah Muslimah adalah unsur asasi dalam membangun masyarakat

Tatkala Allah Ta’ala menyebutkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dieksplisitkan dua jenis kelamin sekaligus, laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan betapa keduanya, laki-laki dan perempuan adalah unsur asasi dalam melakukan pembangunan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (At Taubah: 71).

Artinya, tidak cukup mentarbiyah kaum l;aki-laki untulk melakukan perbaikan masyarakat. Kaum muslimah harus dipersiapkan menjadi pelaku perbaikan masyarakat dengan proses tarbiyah Islamiyah. Jika kaum laki-laki disiapkan sehingga ,menjadi shalih, akan timpang apabila tidak dibarengi dengan kebaikan kaum wanita. Demikian pula berlaku sebaliknya. Perbaikan masyarakat tidak mungkin dilakukan separohnya saja, dengan meninggalkan separoh nyang lain.

Para wanita muslimah bukanlah suplemen atau pelengkap dalam perbaikan masyarakat. Mereka adalah pelaku aktif sebagaimana kaum laki-laki bertindak sebagai subyek npembangunan. Justru karena keduanya merupakan unsur asasi dalam perbaikan, maka tarbiyah Islamiyah yang menghantarkan kepada kebaikan kepribadian juga harus dilakukan kepada keduanya. Tidak mungkin melakukan perbaikan masyarakat, dengan pelaku yang penuh cacat dan kejelekan.

Jika para wanita muslimah tidak dipersiapkan melalui kegiatan tarbiyah, akan menyebabkan mereka senantiasa menjadi korban kemajuan zaman. Perempuan dari zaman ke zaman dihadapkan pada sejarah yang buram, kecuali dalam Islam mereka mendaptkan kejayaan. Islam menyediakan proses tarbiyah yang membuat mereka menjadi dimuliakan dengan peran yang si=gnifikan untuk melakukan perbaikan.

6. Fitrah Muslimah memerlukan optimalisasi untuk menjadi pilar-pilar kehidupan

Atas bentukan sosial (social construction), banyak wanita yang merasa lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Ada unsur pemalu, perasa, ditambah dengan sejumlah patokan nilai dan persepsi kultural masyarakat byang tidak menghendaki wanita menjadi pelaku aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, akhirnya para akhwat muslimah lebih cenderung mengalah.

Sifatnya yang pemalu, banyak membuat para akhwat cenderung diam dan tidak mengekspresikan kehendak dan pendapat dirinya tatkala menghadapi perbedaan. Ada sesuatu yang menghambat dirinya untuk melakukan peran yang lebih signifikan dalam kehidupan. Sebagiannya karena takut salah, atau persepsi fikih yang tidak tepat, atau sekedar merasa tidak pantas saja, sehingga pilihannya lebih banyak diam dan tidak menonjolkan kapasitas dirinya.

Memang terdapat sejumlah perbedaan anatomis dan fisiologis pada laki-laki dan wanita, yang ternyata membawa pula konsekuensi perbedaan dalam beberapa karakteristik dan sifatnya. Walaupun perbedaan pokok susunan syaraf di antara laki-laki dan perempuan tidak berarti, tapi ada suatu kecenderungan dalam perangai yang sifatnya berlainan. Menurut Abbas Kararah (1995) bahwa kelembutan, kehalusan watak dan kelebihan perasaan lebih dominan terdapat pada perempuan, sedangkan kekerasan, pendirian teguh, kecerdikan menguasai hawa nafsu merupakan ciri-ciri watak lelaki.

Di sisi lain intuisi perempuan lebih tajam, kemampuan ingatan perempuan amat kuat. Hal lain dibuktikan dengan melihat kenyataan bahwa para aktris film lebih cepat menghafal teks skenario dari pada para aktornya. Penelitian Hadiyono dan Kahn (1987) menemukan bahwa laki-laki secara signifikan menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada stabilitas emosi, dominasi, keberanian dan kepuasan diri dari pada perempuan. Newcomb et.al (1986) juga melaporkan persepsi perempuan terhadap kejadian-kejadian hidup lebih ekstrim dari pada laki-laki. Kejadian-kejadian hidup lebih dipersepsikan sebagai hal yang tidak mengenakkan bagi perempuan. Diener et.al (1985) juga menemukan bahwa perempuan memang menunjukan intensitas emosi (positive-negative affect) yang lebih ekstrim dibanding laki-laki.

Dengan memahami beberapa bentuk perbedaan yang biasa muncul pada diri laki-laki dan perempuan, tarbiyah bagi wanita mulsimah perlu mendapatkan perhatian yang spesifik, sebagaimana pula pentarbiyahan bagi kaum laki-laki yang membutuhkan sejumlah spesifikasi, justru karena memang secara nyata ada bagian yang berbeda.

Demikianlah beberapa urgensi tarbiyah bagi wanita muslimah. Tarbiyah telah mengangkat derajat wanita muslimah dalam kapasitas sebagai subyek yang mandiri, memiliki kesadaran aktif dan potensi yang penuh untuk melakukan pernbaikan diri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Sangat berbeda dengan persepsi berbagai ajartan agama dan ideologi yang meletakkanj perempuan pada posisi sangat tidak manusiawi.

Agama Yahudi menganggap perempuan selalu dalam kutukan Dewa, selalu berdosa sejak lahir maka harus dihukum, perempuan hanyalah hiasan rumah belaka. Perempuan hanyalah sebagai budak, orangtuanya berhak penuh untuk menjual kepada siapa saja, dan kehadiranya merupakan laknat bagi alam semesta. Sebagian tradisi Kristiani juga mempersepsikan perempuan sebagai penyebab kehancuran umat, sumber segala dosa dan kesalahan, serta tidak berhak untuk mendapat kesempatan dalam segala urusan karena ia mempunyai fikiran yang lemah.

Menurut Filsafat Marxisme, perempuan adalah milik kaum laki-laki. Perempuan dibebani untuk bekerja membanting tulang seperti selayaknya laki-laki sehingga kaum perempuan tidak bisa melakukan tugas sebagai isteri, ibu bagi anak-anaknya, dan menjaga rumah tangga dari kehancuran. Filsafat Barat Amerika, menganggap perempuan harus melepaskan tugas keperempuanannya sehingga tidak ubahnya mereka sebagai barang dagangan seperti mobil, kulkas dan televisi. Gambar mereka terpajang di sampul-sampul majalah dan tabloid bahkan foto-foto bugil mereka dengan sangat mudah dilihat lewat internet maupun media yang lain.
Bettany, seorang pastur, dalam bukunya, “Agama-agama Dunia” menuturkan bahwa “karakter perempuan tidak terukur dalamnya, bagai ikan yang berlatih dalam air, dan menurut tabiatnya mereka selalu menggoda siapa saja yang dijumpainya. Selalu berdusta dengan siapa saja serta selalu memutar balikkan kebenaran dan berkata kebohongan.”

Pastur St. John Chrysston, berpendapat, “perempuan adalah makhluk yang paling jahat, patut mendapat kesengsaraan, dia benar-benar penggoda dan menambah penyakit.” Sedangkan Pastur St. Clement dari Aleksandria, “Tidak ada satupun yang dapat mendatangkan aib bagi laki-laki, walau dengan berbagai alasan, kecuali banyak dilakukan oleh perempuan.”
Bagaimana mungkin wanita muslimah tidak terlibat dalam tarbiyah Islamiyah, jika posisi mereka terlecehkan dalam berbagai sistem hidup masyarakat di luar Islam?

Senin, 19 April 2010

Aisyah, Izinkan Aku.....

Oleh : Rahma A
Diriwayatkan oleh Atha' dari Aisyah, Rasulullah bersabda, 'Aisyah, izinkan aku menyembah Tuhanku,' Aisyah menjawabnya, 'Aku lebih senang berada didekatmu tetapi aku tidak dapat mencegahmu untuk mengutamakan menyembah padaNya.' Maka aku izinkan beliau meninggalkanku. Kemudian beliau mengambil wudlu, menggunakan secara hemat. Selanjutnya beliau berdiri melakukan sholat, lalu menangis sehingga air mata beliau mengalir sampai dada lalu beliau ruku' dan menangis, kemudian sujud dan menangis lalu mengangkat kepala dan menangis tiada hentinya beliau berada dalam kondisi yang begitu sampai Bilal mengumandangkan azan Subuh.

Begitulah gambaran Nabi Muhammad begitu sangat menghargai istrinya yang tengah dalam ketentraman sehingga bertutur dengan lembutnya, 'Aisyah, Izinkan aku..' Sebuah penuturan Rasulullah menanamkan kesadaran kepada Sang Khaliq, juga menanamkan kesadaran kewajiban seorang suami kepada istri berarti mengajak istri agar berlatih ikhlas dalam setiap perjuangan dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Bila suami sebagai nahkoda maka istri berperan sebagai awak kapal. Tugas awak kapal lebih banyak memainkan peran yang penting. Seperti tugas navigator yang harus mengingatkan jalan mana yang harus dilewati. Bila didepan ada karang atau badai maka awak kapal yang berteriak paling keras untuk mengingatkan Sang Nahkodanya jangan sampai kapalnya tenggelam karena menabrak karang atau terkena badai.

Dalam samudra kehidupan yang damai dengan mudah mendialogkan berbagai permasalahan, suami maupun istri bisa saling mendengarkan namun ketika badai datang menghadang, kondisi rumah tangga sedang memanas seperti suami terkena PHK dan istri yang mencari nafkah, kondisi ini cukup mudah menyulut pertengkaran. Sang Nahkoda, tiba-tiba kehilangan kepercayaan diri untuk memimpin kapal sementara awak kapal merasa dirinya berhak untuk menjadi nahkoda karena dia yang bekerja sehingga saling menonjolkan dan mempertahankan egonya masing-masing.

Disinilah menjadi penting hadis diatas bagi suami sebagai nahkoda kapal dan istri sebagai awak kapal mengemban hak & kewajiban masing-masing dengan dilandasi keikhlasan. Meskipun berat keikhlasan menjadi sebuah kemaslahatan bersama. Tidak ada alasan bagi suami untuk tidak memuliakan istri bahkan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad untuk melakukan sholat malampun meminta izin istrinya. Jadi kuncinya terletak kepada suami berakhlak baik kepada istri dan bila istri mendapati suami sedang lalai maka tugasnyalah untuk mengingatkan suaminya. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad suami dan istri adalah pemimpin. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.

'Setiap orang diantaramu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang suami menjadi pemimpin dalam keluarga dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri menjadi pemimpin rumah tangganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR. Abdullah Ibn Umar)

Kamis, 18 Maret 2010

NASEHAT IMAM AL-GHAZALI

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya, pertama,"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "Mati". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "Masa Lalu". Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu" (Al A'Raf 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Iimam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "memegang AMANAH" (Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?".Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "Meninggalkan Sholat". Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan sholat, gara-gara meeting kita tinggalkan sholat.

Lantas pertanyaan ke enam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?". Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang... Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "Lidah Manusia". Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Sumber : http://www.tarbiyah.net/nasihat-ulama/11-nasehat-imam-al-ghozali

Minggu, 14 Maret 2010

MENDIDIK ANAK USIA REMAJA (MENURUT TELADAN RASULULLAH SAW)

Oleh : Lutfi Fauzan
Anak merupakan amanah Allah bagi orang tuanya, dengan tugas dan tanggung jawab yang dilekatkan untuk mengasuh dan mendidik mereka. Bagaimana orang tua menerapkan cara pengasuhan dan pendidikan menentukan akan menjadi bagaimanakah nantinya anak tersebut. Al-Quran menyebut adanya anak yang:
  1. menjadi musuh (aduwwun) bagi orang tuanya;
  2. anak yang menjadi fitnah (fitnatun) bagi orang tuanya;
  3. sebagai hiasan atau kesenangan duniawi (zinatul hayatid dunya);
  4. cindera mata hati (qurrata a’yun) karena ia merupakan ladang amal bagi orang tuanya.
Begitu besar peran orang tua untuk menyelamatkan ataupun menggelincirkan anaknya diisyaratkan dalam hadits Rasulullaw saw, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah (membawa benih iman), maka orang tuanyalah yang menjadikan mereka yahudi, nasrani, ataupun majusi” — Fithrah mengandung arti membawa benih iman diperkuat dengan hadits qudsi yang menyatakan, “dan sesungguhnya Aku ciptakan manusia itu semuanya dalam keadaan hanif (lurus, condong pada kebenaran).
Tugas Mendidik Anak
Menurut ilmu bahasa, pendidikan (tarbiyah) berasal dari kata rabba, artinya memperbaiki sesuatu dan meluruskannya. Kata rabbun sendiri dalam dalam kalimat Rabbul Alamin berarti Pencipta, Pendidik, Pengasuh, Pemelihara (Yang Memperbaiki). Pengarang tafsir Al Baidhawi dalam menafsirkan Ar-rabb merupakan masdar (sebut-an) yang bermakna tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu sampai menuju titik kesempurnaan sedikit demi sedikit.”
Dari antara sejumlah simpulan pengertian tarbiyah menurut ulama yang dapat kita jumpai adalah:
  1. Tarbiyah berarti menyampaikan sesuatu untuk mencapai kesempurnaan.
  2. Tarbiyah adalah menentukan tujuan melalui persiapan sesuai batas kemampuan untuk mencapai kesempurnaan.
  3. Tarbiyah adalah sesuatu yang dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik.
  4. Tarbiyah dilakukan secara berkesinambungan. Artinya tahapannya sejalan dengan kehidupan, tidak berhenti pada batas tertentu, terhitung dari buaian sam¬pai liang lahat.
  5. Tarbiyah adalah tujuan terpenting dalam kehidupan, baik secara individu maupun keseluruhan.
Mendidik bukan hanya tugas kalangan ahli pendidikan (dalam pengertian guru atau ustadz), tetapi setiap kita adalah pendidik. Demikian itu karena Allah telah menempelkan bakat mendidik itu pada setiap orang, dan pendidikan merupakan bagian dari sifat Allah yang dipercikkan kepada manusia untuk dikembangkan dalam melaksanakan tugas kekhalifahannya, utamanya dalam mendidik putra dan putrinya. Allah menegaskan di dalam Al-Quran, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jaga-peliharalah dirimu dan keluargamu dari kebinasaan (api neraka)…” (QS.66: 6). Selanjutnya dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullaw saw bersabda, yang artinya: “Urus dan lazimkan anak-anakmu dengan adab yang baik”. Pada hadits yang lain dinyatakan, “Tolonglah anak-anakmu untuk berbuat kebajikan” (H.R. Thabrani). Dan untuk memberikan semangat kepada orang tua dalam mendidik putra-putrunya, Rasulullah saw menegaskan, “Tidak ada pemberian orang tua yang lebih utama terhadap anak-anaknya daripada pendidikan yang baik”.
Sifat-Sifat Remaja
Mendidik anak, utamanya ketika memasuki masa remaja, yang merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Masa remaja yang ditandai dengan kematangan fisik dan seksual, perubahan naluri, pemikiran dan pola hubungan sosial, secara syar’i mereka telah mencapai usia bulugh (baligh). Masa tersebut dimulai pada usia 11 atau 12 untuk wanita, 13 sampai 15 untuk pria, dan biasanya diakhiri pada usia 21 atau 22 tahun. Pada masa ini anak memerlukan perhatian yang lebih serius. Hal ini disebabkan anak usia remaja yang mengalami berbagai perubahan dalam berbagai segi kepribadian-nya belum cukup memiliki pengalaman sekaligus sering diperlakukan secara mendua sehingga menimbulkan berbagai permasalahan bagi diri dan lingkungannya. Para orang tua dan pendidik hendaknya mampu memahami dan menyikapi perubahan tersebut Selain itu orang tua diharapkan mampu men¬ciptakan kiat (cara-cara) yang andal untuk menghadapi dan membantu mereka dalam mengatasi berbagai masalahnya sehingga di antara anak dengan orang tua tetap terjalin keserasian hubungan.
Tak jarang, ada juga orang tua dan pendidik yang kurang memahami gejolak jiwa anak-anak usia remaja. Misalnya saja, seorang ayah masih memperlakukan anak yang tengah remaja seperti halnya ketika anak itu masih kecil. Dia tidak memperhatikan perkem¬bangan-perkembangan baru yang sebenarnya membutuh¬kan kiat bergaul yang berbeda dengan masa kanak-kanak terakhir. Sikap dan pandangan semacam itu menimbulkan kesenjangan dan masalah antara orang tua dengan anaknya, dan keadaan seperti itu dapat terus berlangsung sampai anak itu mengin¬jak usia dewasa. Oleh karena itu penting bagi orang tua memahami sifat-sifat khas yang berkembang pada anak remajanya.
Sejumlah ciri sifat yang biasanya ada pada remaja antara lain: kecanggungan dalam pergaulan; kelebihan emosi; berubahnya beberapa pandangan hidup; muncul sikap kritis dan suka menentang; ingin mencoba-coba; tingginya minat kelompok; dan banyak dipengaruhi model identifikasi (tokoh untuk ditiru).
Dalam keadaan seperti itu remaja dituntut untuk mampu menyelesaikan tugas-tugas kehidupan sesuai tingkat perkembangannya, antara lain: menerima keadaan fisik dan peran seksual dan sosialnya; mencapai kebebasan emosional dan ekonomi; mengembangkan keterampilan baru bagi persiapan kerja dan berperilaku sebagai warga negara yang dapat diterima; menentukan nilai-nilai yang dianut dengan kesadaran; dan mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga.
Bagaimana Rasulullah saw Menghadapi Remaja
Ciri perkembangan sekaligus permasalahan yang sering muncul pada remaja adalah berkenaan dengan perkembangan seksualnya. Perkembangan seksual seorang anak biasanya bersamaan dengan perkembangan organ-organ seksual dan jaringan saraf yang sangat penting dalam perkem¬bangan rasionya. Perubahan-perubahan tersebut disertai dengan gejala-gejala khusus dalam tingkah laku yang menuntut perhatian dan pengawasan. Seorang pemuda mulai menginjak jenjang kelaki-lakian dan seorang pemudi mulai menginjak jenjang kewanitaan dengan daya tarik dan misteri-misteri yang mengun¬dang kebingungan dan kegelisahaan.
Abi Umamah, dalam hadits riwayat Ahmad, mengisah¬kan bahwa seorang pemuda telah datang menghadap Nabi saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku berzina.” Orang-orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, “Celaka engkau, celaka engkau!” Rasulullah saw. mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya: Kemudian terjadilah tanya jawab (dialog) yang panjang antara Rasulullah saw. dengan pemuda itu:
Nabi saw: “Apakah engkau ingin hal itu (zina) ter¬jadi pada ibumu?”
Pemuda : “Sekali-sekali tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”
Nabi saw: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada ibu mereka. Apakah engkau ingin hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?”
Pemuda : “Sekali-sekali tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”
Nabi saw: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal ini terjadi pada saudari-saudari mereka. Apakah engkau ingin hal ini terjadi pada saudara perempuan bapakmu?”
Pemuda : “Sekali-sekali tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”
Nabi saw: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada sudara perempuan bapak mereka. Apakah engkau ingin hal itu ter¬jadi pada saudara perempuan ibumu?”
Pemuda : “Sekali-sekali tidak. Demi Allah yang menjadikanku sebagai tebusan Tuan.”
Nabi saw: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada saudara perempuan dari ibu mereka.”
Kemudian Nabi saw. memegang dada pemuda itu seraya berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya!” Setelah peristiwa itu, pemuda tadi menjadi orang yang arif.Beberapa nilai pendidikan yang terdapat pada peristiwa tersebut:
1. Rasulullah saw. Sangat memahami kejiwaan pemuda tersebut. Beliau tidak marah, bahkan memintanya untuk duduk didekatnya. Pengaruhnya sang pemuda merasa dihargai.
2. Rasulullah saw. menggunakan cara dialog, bertanya jawab secara bijak karena melalui cara tersebut anak dapat melontarkan pendapat kepada pendidiknya. Dan koreksi atas suatu pandangan dapat diberikan.
3. Masalah yang beliau tanyajawabkan berkisar pada masalah yang sedang dihadapi si pemuda tadi dan tidak keluar dari inti permasalahan atau tidak memecahkan konsen-trasi pemuda tadi dengan masalah-masalah yang lain.
4. Tanya jawab yang dilakukan Rasulullah saw merupakan cara yang paling cemerlang karena jawaban akan langsung keluar dari anak itu sendiri. Ketika Rasulullah saw. bertanya “apakah engkau suka bila zina dilakukan pada ibumu?” jawaban sang pemuda merupakan dalil pela¬rangan zina untuk dirinya sendiri. Selain itu, jawaban “sekali-kali tidak, demi Allah yang menjadikan saya se¬bagai tebusan Tuan,” merupakan pengakuan atas kesa¬lahan yang paling gamblang. Secara rinci, manfaat yang dapat kita ambil adalah:
a.Terjadinya interaksi esensial antara seorang anak didik dengan pendidiknya.
b. Pikiran anak didik akan terfokus dan terpusat pada pertanyaan yang dilontarkan.
c. ]awaban yang menggunakan kalimat negatif me¬rupakan metode pendidikan yang ilmiah dan realistis serta menjadi hujjah atas pelanggaran terhadap per¬buatan tertentu, baik secara kemasyarakatan maupun kemanusiaan.
5. Jumlah pertanyaan Rasulullah saw. yang banyak dapat menjadi dalil keyakinan yang menunjuk¬kan keingkaran pemuda itu terhadap perbuatan zina. Banyaknya dalil merupakan salah satu kiat pendidik¬an yang memperkuat hujjah dan alasan.
6. Di antara kiat penyembuhan yang digunakan Rasulul¬lah saw. adalah meletakkan tangannya yang mulia di dada orang yang mendapat masalah. Ketika beliau mele-takkan tangannya di dada pemuda tadi, dia pasti akan merasakan ketenteraman serta ketenangan jiwa. Sebab, ketika itu beliau mendoakan si pemuda dengan inti doa yang mencakup pengampunan dosa, penyucian hati, dan pemeliharaan kemaluan. Bercermin dari itu, tampaknya orang tua wajib menjadikan doa sebagai salah satu sarana penyembuh penyakit hati anak¬nya. Rasulullah saw. telah bersabda, “Ibadah yang paling utama adalah doa.” (Shahih al ]ami’ Ash Shaghir, hadits no. 1108). Dan Firman Allah, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan doa¬mu.” (QS76: )
Setelah peristiwa itu, tidak lagi tersirat dalam benak pemuda tadi untuk berzina. Tidak diragukan lagi, dia akan mendayagunakan pikiran dan potensinya untuk hal yang membuahkan hasil dan memberikan manfaat bagi diri dan masyarakatnya, seperti menyibukkan diri dalam belajar, jihad, atau aktivitas lain yang membantu perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Potensi ter¬sebut merupakan modal besar yang dapat diharapkan hasilnya.
Belajar dari i’tibar di atas Najib Khalid Al’Amir dalam bukunya “Tarbiyah Rasulullaw” menyarankan agar orang tua dan pendidik mengambil sikap terhadap anak-anak mereka yang sedang remaja, seperti tertera berikut ini:
  1. Mengetahui secara optimal perubahan-perubahan yang terjadi pada anak-anak mereka yang sedang remaja de¬ngan melakukan pengamatan yang jeli.
  2. Mengarahkan mereka (anak-anak) untuk selalu pergi ke masjid sejak kecil sehingga memiliki disiplin naluriah dan andil yang potensial dalam lingkungan rabbaniah. Jika dia seorang pemuda, anjurkan untuk membiasakan shalat berjamaah dan membaca A1 Qur’an.
  3. Membuka dialog dan menyadarkan mereka akan status sosial mereka.
  4. Menanamkan rasa percaya diri pada diri mereka dan siap mendengarkan pendapat-pendapat mereka.
  5. Menyarankan agar menjalin persahabatan dengan teman¬teman yang baik. Sikap tersebut dapat menjadi perisai positif dan menjauhkan mereka dari perbuatan-per-buatan nista.
  6. Mengembangkan potensi mereka di semua bidang yang bermanfaat.
  7. Menganjurkan kepada mereka untuk berpuasa sunah karena hal itu dapat menjadi perisai dari kebobrokan moral.
Ulama yang lain, Abdullah Nashih Ulwan mengajukan dua pedoman pokok untuk mendidik anak, yaitu pedoman mengikat dan pengawasan. Anak perlu diikat dengan aqidah, ibadah (wajib dan sunnah), pola pemikiran yang islami, nilai dan peran kemasyarakatan (pergaulan dengan akhlaq terpuji), dan dorongan pengembangan bakat serta potensi pribadi. Adapun pengawasan merupakan sikap kewaspadaan orang tua dalam mengamati setiap perkembangan anak-anaknya. Orang tua perlu mengawasi anaknya agar tetap berada pada jalur yang benar, tidak melakukan penyimpangan baik dalam hal makanan, pakaian, pergaulan, pola pemikiran, pengembangan kebiasaan, tradisi, dan amal ibadah pada umumnya.
Sejumlah saran yang beliau ajukan dalam upaya mendidik anak dan remaja antara lain:
• Menanamkan kerinduan pada usaha yang mulia
• Menyalurkan bakat fitri anak
• Menjalin hubungan yang baik anatara rumah, masjid, dan sekolah
• Memperkuat hubungan orang tua, pendidik, dan anak
• Menerapkan aturan secara ajeg
• Menanamkan kecintaan anak pada belajar
• Menyediakan sarana pembudayaan yang bermanfaat
• Menanamkan tanggung jawab keislaman
• Memperdalam semangat jihad
Adapun nasihat yang mengandung nilai-nilai islami yang dituturkan dalam bentuk tembang macapat antara lain dalam bentuk tembang Asmaradana dan Pangkur berikut ini:
Pada netepana ugi
Kabeh parentahing syara’
Terusna lahir batine
Shalat limang wektu uga
Tan kena tininggala
Sapa ninggal dadi gabug
Yen misih demen ning praja
Aja nedya katempelan
Ing wawatek kang tan pantes ing budi
Watek rusuh nora urus
Tunggal klawan manungsa
Dipun sami karya labuhan kang patut
Darapon dadi tulada
Tinuta ing wuri-wuri
Kesemua pandangan, pengajuan pengertian, saran dan nasihat yang diajukan dimuka pada akhirnya mengarah pada tujuan utama pembinaan anak adalah mencapai keridhaan Allah SWT. Jalan yang ditempuh adalah dengan menjadikan anak terikat kepada Al-Quran sehingga mendapatkan karunia hikmah, tumbuh belas kasihan yang mendalam, menjaga kesucian diri, bertaqwa, berbakti kepada kedua orang tua, tidak memiliki sifat sombong dan tidak termasuk orang yang durhaka, sehingga selamat dan kesejahteraan dilimpahkan kepadanya: dari lahir, mati, dan dibangkitkan kembali (QS.19: 12-15). Wallahu a’lamu bishshawab.

Rabu, 03 Maret 2010

Mendidik Anak di Tengah Tantangan Zaman


Category : Other




Masalah anak dan remaja masa kini sungguh berat. Ayah dan ibu pun harus bahu-membahu.
(republika.co.id)


Ani, sebut saja begitu, tersentak saat menemukan kalimat 'aneh' di buku anaknya. Kalimat itu kurang lebih begini, ''Aku mencintaimu. Nanti kita mandi bareng, baru ciuman.''

Sang buah hati masih duduk di kelas 1 SD. Wanita itu tidak membayangkan anak seusia anaknya berpikiran seperti dalam kalimat yang ditulisnya. Tak percaya dengan ungkapan dalam kalimat itu, Ani lalu bertanya, `'Ini tulisanmu, ya?''

`'Ya, tapi disuruh (teman),'' jawab si anak.
Merasa tidak puas, Ani menyampaikannya kepada guru kelas. Sang guru mengatakan, teman anaknya itu memang suka menyuruh teman-temannya menuliskan hal-hal semacam itu. Ani pun bertanya, `'Bagaimana saya bicara ke anak saya?''

Keluhan itu diutarakan dalam dialog interaktif, Mendidik Remaja di Tengah Tantangan Zaman dan Teknologi dalam Perspektif Islam di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok, Sabtu (28/1). Elly Risman SPsi dan Ustadz M Ihsan Tanjung tampil sebagai pembicara yang dihadiri sebagian besar oleh kaum ibu itu.

Kalau anak sudah menulis seperti itu, Elly Risman berpendapat, orang tua jangan lagi membuang waktu. Misalnya, menunggu waktu yang dianggap tepat untuk mengatasinya. Apalagi berharap penyelesaian dari guru di sekolah. `'Anak kita harus kita urus sendiri,'' ucapnya.

Masalahnya berat
Elly mengakui, masalah anak dan remaja saat ini memang berat. Orang tua sibuk dengan banyak persoalan, juga serbuan media seperti koran, majalah, televisi, video hingga internet. Mengharapkan sekolah untuk bisa mengatasinya, pun tidak mudah. Itu, ungkapnya, karena umumnya sekolah lebih mengedepankan perkembangan otak kiri.

Psikolog keluarga ini melihat tiga hal yang bisa terjadi dalam interaksi anak dengan media. Pertama, pengaruh media terhadap anak-anak makin besar. Teknologi makin canggih dan intensitasnya tinggi. Kedua, gaya hidup kita yang rutin dan padat. Alhasil, orang tua tidak punya waktu cukup untuk memerhatikan, mendampingi, dan mengawasi anak.

Ketiga, persaingan bisnis antarmedia makin ketat sehingga cenderung mengabaikan tanggung jawab sosial, moral, dan etika, serta melanggar hak-hak konsumen.

Perkembangan teknologi dan media pun bak air bah. Pada sisi lain, teknologi itu sendiri bisa membuat kecanduan karena di situ anak menemukan hal yang tidak didapatkan di dunia nyata. Teknologi juga dirasakan mengasyikkan dan kerap menjadi jalan keluar dari masalah.

Peran ayah
Di era sekarang ini, menurut Ihsan Tanjung, kebaikan bertaburan di mana-mana, sebagaimana juga kejahatan bertaburan di mana-mana. Karena itu, anak harus diarahkan. `'Kita harus mendidik anak-anak dengan kemandirian,'' tuturnya.

Pendidikan anak tidak hanya dilakukan oleh ibu, tapi lebih penting lagi oleh ayah. Pentingnya pendidikan anak oleh ayah juga dibenarkan oleh Elly. `'Tidak semua hal bisa dilakukan oleh ibu. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan oleh ibu,'' katanya.

Ihsan lalu mengisahkan sebuah keluarga, di mana sang ayah supersibuk bekerja. Sekali tempo, tuturnya, sang ayah tiba di rumah. Di depan pintu dia dijemput oleh anaknya yang berusia 5 tahun. Tak dinyana, si anak bertanya, `'Ayah kerja dibayar berapa sehari?''

Merasa lelah, si ayah tidak meladeni pertanyaan itu. Dia bahkan menyuruh anaknya enyah dari sampingnya. Tapi setelah merenungkan perlakuannya kepada anak, dia akhirnya minta maaf. Pertanyaan si anak pun dijawabnya. `'Sepuluh dolar,'' ucapnya.

Mendengar jawaban itu, si anak melompat-lompat kegirangan. Bocah itu lalu mengangkat bantal di tempat tidurnya dan mengambil uang simpanannya di balik bantal. Jumlahnya cukup untuk membayar gaji ayahnya bekerja sehari. `'Hore, saya mau bayar waktu bapak sehari,'' katanya, masih dengan melompat-lompat kegirangan.

Menurut Ihsan, sedikitnya tiga tahap pendidikan anak dalam Islam. Pertama tahap bermain, dimulai dari usia 0 sampai kira-kira 7 tahun. Kedua tahap penanaman adab atau disiplin, dari 7 - 14 tahun. Ketiga tahap persahabatan, yakni saat anak berusia 14 tahun ke atas. Tahap yang terakhir ini dapat digolongkan sebagai remaja. Di usia seperti ini, mereka perlu didekati dengan pendekatan dan menjadikan anak sebagai sahabat.

Secara garis besar, jelas Ihsan, ada 5 macam metode pendidikan dalam Islam. Yakni, melalui keteladanan, pembiasaan, pemberian nasihat atau pengarahan, melalui mekanisme kontrol, dan melalui hukuman sebagai pengamanan terhadap hasil-hasil proses pendidikan tersebut. Dari kelima metode tersebut, yang paling penting adalah keteladanan meskipun tidak boleh meninggalkan satu pun dari lima metode tersebut.

Komunikasi
Bagaimana mengatasi keadaan anak yang sudah telanjur `melangkah' melebihi batas usianya, seperti yang dilakukan oleh anak kelas 1 SD tadi? Elly menyarankan satu langkah: lakukan komunikasi dengan anak. Orang tua, katanya, harus memperbaiki komunikasi, berbicara dengan baik-baik. Nada bicara usahakan rendah, berbicara dengan lemah lembut supaya anak menjadi lembut hatinya. Ceritakan masalah yang dihadapi orang lain untuk menangkap perasaannya. Saat bicara dengan anak, hadapi tidak dengan berhadap-hadapan laiknya seorang penyidik menghadapi seorang tertuduh.

Komunikasi dengan anak, menurut Elly, adalah cara yang baik untuk memproteksi anak supaya lebih aman di luar rumah. Dia lantas mengungkap banyak hasil penelitian yang menunjukkan pentingnya komunikasi dengan anak. `'Anak-anak yang bicara dengan orang tua lebih banyak, lebih punya ketahanan di luar,'' dia mengutip hasil sebuah penelitian itu.

Nah, untuk mendidik anak yang dinilai sudah `melangkah jauh', menurut Elly, hal yang perlu dilakukan adalah membuat daftar yang ingin diperbaiki untuk dibicarakan dengan anak. Buat prioritas mana yang lebih dulu dibicarakan dengan anak dan tentukan siapa yang bicara kepada anak, ibu atau ayah. `'Jangan sekaligus dibicarakan,'' tuturnya.


Memang Berat, Tapi Jangan Menyerah

Jangan pernah menyerah menghadapi masalah anak. Begitu pesan psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman. Ibu tiga anak ini memberikan sejumlah kiat untuk mengatasi beratnya masalah anak dan remaja saat ini. Untuk anak, Elly menyarankan orang tua untuk memberikan kondisi sebagai berikut:

- Fondasi agama, baik pemahaman maupun praktik.
- Komunikasi terbuka dan hangat.
- Mempersiapkan anak sesuai dengan usia.
- Mengenalkan TV, game, telepon genggam, internet, dan teknologi secara seimbang. Anak diajak mengenali dampak positif dan negatifnya.
- Membicarakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Beri tahu pula bagaimana caranya secara konkret.
- Melakukan kontrol yang tidak menyakitkan harga diri si anak.
Untuk orang tua, Elly menyarankan melakukan beberapa hal yang bisa memperbaiki kualitas diri sebagai orang tua.
- Sering-sering melihat ke dalam diri (introspeksi). Tingkatkan kesadaran, tentukan prioritas.
- Ubah cara pandang dalam pengasuhan.
- Perbaiki konsep diri dan komunikasi.
- Lebih sigap dan antisipatif.
- Kejar ketinggalan.
- Bangun kerja sama dalam keluarga dengan 3 C (concern, committed, concictency/kepedulian, komitmen, dan konsisten).

Minggu, 28 Februari 2010

CERITA UNTUK ANAK

Oleh : yennihartati on: May 18, 2009

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan nilai – nilai kebaikan pada anak. Di antaranya adalah dengan bercerita. Semua jenis cerita, baik yang dinamakan dongeng, kisah, hikayat, dan lain – lain, sangat disukai oleh anak – anak. Bagi mereka, cerita menjadi salah satu hiburan yang menarik. Tak heran jika mereka akan menyimak dengan antusias suatu cerita yang sedang dibacakan. Atau mereka berkonsentrasi penuh saat membaca suatu cerita.

Bagi orang tua, yang lebih penting adalah suatu cerita yang bagus akan memberi dampak positif bagi diri anak. Melalui cerita, anak akan mendapat contoh sifat – sifat terpuji, seperti jujur, rendah hati, patuh pada orang tua, setia kawan, dan lain – lain. Ada banyak cerita yang dapat digunakan. Mulai dari dongeng sebelum tidur, hikayat seribu satu malam, hingga cerita rakyat Indonesia sendiri.

Bagi seorang muslim, cerita islami dapat menjadi pilihan utama. Di dalam Al – Qur’an dan hadits ternyata terdapat banyak cerita – cerita menarik. Misalnya tentang ashabul kahfi, nabi Musa as mencari ilmu, kisah keluarga nabi Ibrahim as, ashabul ukhdud, serta kisah nabi lainnya. Selain itu juga ada kisah – kisah tentang sahabat Rasul, pemimpin Islam, orang – orang sholeh terdahulu, dan lain – lain. Cerita – cerita islami ini, tidak hanya menghibur, tapi juga jauh dari kebohongan, dan dapat memperindah akhlaq dan memperkuat keimanan anak. Mereka akan mengenal lebih jauh tentang Tuhan – nya. Mereka akan melihat indahnya akhlaq Rasul – Rasul Allah.

Selain cerita islami di atas, ada juga banyak cerita fiksi islami yang tidak kalah menarik. Cerita fiksi inipun juga baik bagi anak. Kelebihan cerita ini adalah konteks kekinian yang melatarbelakangi cerita. Sehingga dekat dengan kehidupan anak. Bahkan sekarang sudah banyak fiksi – fiksi islami yang ditulis oleh anak – anak. Hal ini dapat memicu anak – anak lain untuk mulai menulis cerita mereka sendiri. Kreativitas dalam diri anak akan muncul.

Ada banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari suatu cerita yang baik. Dan sebaliknya, cerita yang buruk (mengandung unsur kekerasan, pornografi, dan lain – lain) akan berakibat negatif bagi anak. So, orang tua harus selektif memilih cerita untuk anak. Dan juga harus mengawasi anak, agar mereka tidak membaca cerita – cerita yang tidak berkualitas.

KEMANDIRIAN PADA ANAK

Oleh : yennihartati on: May 15, 2009

Rumah saya terletak di sebuah gang kecil di pinggiran kota Jakarta. Walau kecil, gang ini tidak pernah sepi. Ia menjadi akses ke jalan yang terbuka 24 jam. Ia juga jalan pintas yang menghubungkan sisi utara dan selatan.

Puncak lalu lintas di gang ini terjadi pada pagi dan siang hari. Bertepatan dengan jam masuk dan pulang sekolah. Pada waktu tersebut, suara kendaraan roda dua yang lalu lalang cukup memekakkan telinga. Para orang tua sibuk mengantarkan anak – anaknya berangkat sekolah. Ada juga para ibu yang mengantar anak – anaknya dengan berjalan kaki. Di bagian selatan ada dua SD dan satu TK.

Melihat fenomena ini, timbul pertanyaan di benak saya. Mengapa orang tua harus selalu mengantar anaknya ke sekolah ? Jika anak – anaknya masih TK atau kelas 1 dan 2 SD, masih bisa dimaklumi. Tapi banyak juga anak yang sudah cukup besar yang masih diantar. Dari postur badannya, saya menaksir mereka sudah kelas 4 SD ke atas.

Saya heran, karena sebenarnya tidak ada alasan kuat orang tua harus selalu mengantar anaknya ke sekolah. Mengingat, pertama, sebagian anak – anak itu sudah cukup besar. Kedua, jarak rumah mereka dengan sekolah tidak begitu jauh. Ketiga, perjalanan yang ditempuh tidak sulit. Mereka tidak perlu melewati jalan raya yang ramai dengan kendaraan. Keempat, pergi ke sekolah adalah hal yang rutin mereka kerjakan setiap hari (kecuali hari libur). Dengan melalui jalan yang sama. Lingkungan yang telah akrab dengan mereka. Mengapa beberapa orang tua tidak melatih anaknya untuk mandiri ? Mengapa orang tua tidak menyuruh anaknya untuk berjalan kaki ke sekolah? Padahal berjalan kaki di pagi hari justru menyehatkan mereka. Apakah orang tua takut anaknya terlambat ? Lalu, mengapa orang tua tidak membiasakan anaknya untuk bangun lebih bagi ? Yang juga bermanfaat bagi tubuh dan mental mereka.

Saya teringat dengan masa kecil saya. Hal ini mendorong saya untuk banyak bersyukur memiliki ayah dan ibu yang membiasakan anaknya mandiri sejak kecil. Ketika saya masih duduk di bangku TK (usia 5 tahun), ibu memang rutin mengantar dan menjemput saya ke sekolah. Karena untuk sampai ke sana, saya harus menyeberangi jalan raya yang cukup ramai. Waktu itu saya bertanya ke ibu, mengapa saya selalu diantar ke sekolah? Saya merasa sudah bisa melakukannya sendiri. Hingga pada suatu hari, ibu terlambat menjemput saya. Saya sudah tidak betah menunggu di sekolah. Akhirnya saya pulang sendiri. Saya sudah hampir sampai di rumah, dan ibu baru saja berangkat hendak menjemput. Ibu kemudian merangkul saya, sambil tertawa senang. Sejak itu, saya tidak pernah diantar jemput lagi.

Ketika saya mulai masuk SD. Sekolah saya lebih jauh lagi. Mungkin sekitar 1 km dari rumah. Dan saya juga harus menyebrangi jalan Jend. Sudirman, jalan raya yang paling ramai waktu itu. Tapi saya selalu pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki, sendiri. Saya punya strategi. Saya menunggu rombongan kakak kelas lewat di depan rumah. Kemudian bergabung bersama mereka menuju sekolah.

Jadi sejak TK dan SD kelas satu pun, saya tidak diantar jemput orang tua lagi. Orang tua hanya membekali dengan nasihat. Kalau berjalan di pinggir, lihat kanan kiri sebelum menyeberang, dan nasihat lainnya.

Mengapa saya menceritakan masa kecil saya ? Tujuannya untuk menggambarkan bahwa sebenarnya anak – anak bisa mandiri di usia dini. Walaupun tidak bisa digeneralisir. Semuanya kembali kepada orang tua. Apakah mereka mau membangun kemandirian dalam diri anak – anaknya.

Melatih kemandirian perlu dilakukan sejak dini dari hal – hal yang kecil dan rutin. Seperti pergi dan pulang sekolah. Atau juga mengerjakan tugas sekolah. Saya cukup miris melihat tetangga saya. Setiap hari selalu mengantar anaknya yang sudah kelas 5 SD ke sekolah. Padahal jarak rumah ke sekolah hanya sekitar 300 meter. Saya juga pernah melihatnya mengerjakan PR si anak. Sedangkan anaknya sendiri sedang bermain bersama teman – teman. Rasa sayang orang tua kepada anak yang tidak pada tempatnya, justru berdampak buruk bagi anak. Saya teringat lagi, ibu saya yang seorang guru, tidak pernah sekali pun mengerjakan PR saya dan adik – adik. Ibu dan ayah hanya membimbing, dan mengajari kami.

Orang tua harus berubah. Mungkin awalnya timbul rasa kasihan pada anak. Melihat mereka harus bangun lebih pagi, berjalan kaki hingga peluh membasahi baju , dan lain – lain. Namun semua itu akan memberi manfaat yang besar bagi anak di kemudian hari.

Senin, 22 Februari 2010

Persiapan Ruhani untuk Ibu hamil dan menyusui


Oleh : Ustadzah Harmeli Al-Hafidzoh
( Seminar Kesehatan Ibu dan Anak BSMI kota Semarang 11 Feb 07 )

Kenikmatan dan kemuliaan dalam kehidupan berumah tangga akan bertambah ketika Allah subhanahu wataála telah memberikan karunia berupa seorang bocah buah cinta kasihnya. Anak adalah anugerah terindah yang senantiasa diharapkan kehadirannya bagi setiap insan yang membangun mahligai rumah tangga. Rasulullah salallahu'alaihi wasalam pernah bersabda :

" tidak ada seorang anakpun yang lahir pada sebuah keluarga kecuali menambah kemuliaanya yang sebelumnya tidak ada" (HR. Tabrani)

Rasulullah salallahu'alaihi wasalam pun berpesan kepada mereka yang diberi karunia anak untuk mendidiknya dengan baik.

"setiap anak terlahir dalam keadaan suci (Islam), orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi dan Nasrani."

Dalam kesempatan yang lain Rasulullah salallahu'alaihi wasalam menegaskan agar setiap orang tua sangat memperhatikan tarbiyah anaknya, agar anak-anak tidak tumbuh menjadi anak yang mendatangkan kedurhakaan.

"Bantulah anak-anakmu untuk berbakti, siapa yang menghendaki, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya." (HR.Tabrani) .

"sesungguhnya pada setiap pohon terdapat buah, dan buahnya hati adalah anak. Sesungguhnya Allah subhanahu wataála tidak akan mengasihi mereka yang tidak mengasihi anaknya. Dan demi nyawaku yang ada di tangan-NYA, tidak akan masuk surga kecuali orang yang memiliki kasih sayang. " Dampak dari seorang anak yang tidak di harapkan adalah anak akan berpotensi menjadi anak yang durhaka.

"datang seorang sahabat kepada Umar r.a, dia mengadu kalau anaknya durhaka pada bapaknya, maka anak tersebut dipanggilnya terus Umar bertanya perihal kedurhakaanya itu pada bapaknya, anak tersebut menjawab : kalau bapaknya telah durhaka pada dirinya yaitu dengan menikahi wanita yang tidak sholehah dan memberi nama pada anak tersebut dengan nama yang jelek yaitu "kumbang" "

Ruhaniyah Ibu hamil

Setiap kenikmatan yang diberikan Allah subhanahu wataála kepada hamba-NYA, harus senantiasa disyukuri. Syukur merupakan sebuah amalan mulia karena merupakan bukti pengakuan manusia atas segala kelemahannya. Syukur dapat diwujudkan dengan lisan, yakni dengan senantiasa mengagungkan asma Allah subhanahu wataála maupun dengan amal. Amal yang bermakna yaitu menjaga dan merawat atas apa yang telah dianugerahkan Allah subhanahu wataála kepada kita.Kehamilan adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa besarnya yang datang dari Allah subhanahu wataála yang harus disyukuri karena kenikmatan itu tidak diberi kepada semua manusia. Banyak cerita yang telah terdengar oleh kita, betapa inginnnya memperoleh anak, sampai banyak yang bersedia melakukan apapun yang dinasehatkan orang dari yang masuk akal sampai yang paling tidak masuk akal, dari yang diperbolehkan syar'i sampai yang perlu dipertanyakan keabsahannya. Bahkan ada yang rela mengeluarkan dana berapapun besarnya untuk pengobatan di berbagai rumah sakit, sampai-sampai harus keluar negeri sekalipun semua itu dilakukan untuk satu hal, ingin memperoleh anak.

Dengan bersyukur ( dengan kehamilan), niscaya Allah subhanahu wataála akan semakin menambah kenikmatannya kepada kita. Kehamilan merupakan tahap awal dari masa keibuan seorang wanita, dan saat itulah umur yang sesungguhnya seorang anak dimulai. Wanita yang hamil telah menjadi seorang ibu dan memiliki tanggung jawab atas anak yang sedang tumbuh rahimnya. Oleh sebab itu masa depan seorang anak, sebagian besar tergantung pada ibunya. Ibu
adalah madrasatul ullah yaitu madrasah pertama bagi sang anak.

Baik riset maupun pengalaman praktis telah membuktikan bahwa makanan, obat-obatan, lingkungan, kecemasan, rasa marah, dendam, iri hati serta pikiran ibu seluruhnya mempengaruhi benih dalam kandungan. Jadi, dapat dikatakan bahwa apapun yang mempengaruhi ibu juga dapat mempengaruhi bayi yang dikandung. Karena itu ibu hamil harus senantiasa mengontrol kondisi hati dan ruhiyahnya agar benih bayi dalam kandungannya mendapatkan pengaruh yang positif dari perilaku ibu yang baik. Untuk itu, ibu hamil diupayakan dapat melakukan amalan-amalan berikut :
  • Memperbanyak doa Q.S. Al Furqon : 74
  • Mensyukuri anugerah terindah yang Allah berikan
  • Memperbanyak sholat malam
  • Memperbanyak Tilawatil Qur'an ( sebagaimana kisah Imam Syafi'i)
  • Memperbanyak amal kebaikan
  • Menghindari bid'ah ( memakai peniti/benda tajam untuk keselamatan, tujuh bulanan).
  • Menjaga kestabilan emosi.
  • Mengajak komunikasi dengan janin.
  • Memakan buah kurma dan minum air zam-zam. Rasulullah salallahu'alaihi wasalam bersabda : "Para wanita yang hamil sebaiknya memakan kurma selama bulan-bulan terakhir kehamilannya, sehingga anak mereka dapat memiliki dapat memiliki akhlak yang baik dan sifat yang sabar. "
Ruhaniyah Ibu menyusui

Menyusui anak adalah anjuran Islam, dalam beberapa ayat Al-Qur'an Allah subhanahu wataála menerangkan tentang itu "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al- Baqoroh 2: 233)

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".(Q.S. Al- Ahqaaf 46:15 )

Permasalahan psikologis pada anak, dapat disebabkan berkurangnya waktu sang ibu menyusui anak, bahkan Al-Qur'an menyuruh ibu menyempurnakan penyusuannya selama 2 tahun. Namun ada kalanya ibu tidak dapat menyempurnakan penyusuan ini, disebabkan banyak factor. dalam sebuah hadist, Rasulullah salallahu'alaihi wasalam bersabda :
"Sesungguhnya Allah subhanahu wataála melimpahkan rahmat kepada seorang ibu yang menyusui bayinya sama dengan membebaskan seorang budak setiap saat. Ketika masa menyusui berakhir, malaikat berkata : " Mualailah kehidupanmu kembali. Sesungguhnya Allah subhanahu wataála telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu."

Dengan menyusui, bayi akan dapat terpenuhi kebutuhan fisiknya dan juga dapat terpenuhi kebutuhan emosinya, yang berupa kasih saying, kelembutan, kehangatan, dekapan ibu dan perhatian. karena itu, ibu menyusui perlu memperhatikan dan mengupayakan pemenuhan hal-hal seperti tersebut dibawah ini :
  1. Makanan yang halalan toyyiban ( bisa ibu ingat kembali kisah Umar binKhattab r.a )
  2. Membelai bayi dan menyusui dengan tenang ( berhubungan dengan kadar ASI dan psikologis bayi)
  3. Menyusui dengan memperdengarkan bayi dengan murrottal, nasyid, kalimat-kalimat toyyibah, dll
  4. Usahakan saat ibu menyusui bayinya berada di tempat yang tenang seperti didalam kamar.
  5. Mengajak komunikasi.

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku
dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". ( Q.S. Al- Ahqaaf : 15 ).

Islam Dan Pendidikan Anak

Sabda Rasul SAW: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya nasrani, yahudi atau majusi.(HR. Bukhari).

Anak adalah karunia Allah yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Namun sejalan dengan bertambahnya usia sang anak, muncul “agenda persoalan” baru yang tiada kunjung habisnya. Ketika beranjak dewasa anak dapat menampakkan wajah manis dan santun, penuh berbakti kepada orang tua, berprestasi di sekolah, bergaul dengan baik dengan lingkungan masyarakatnya, tapi di lain pihak dapat pula sebaliknya. Perilakunya semakin tidak terkendali, bentuk kenakalan berubah menjadi
kejahatan, dan orangtua pun selalu cemas memikirkanya.

Dr. Abdullah Nashih ‘ulwan, dalam bukunya „Tarbiyatul Aulad” menegaskan, hanya ada satu cara agar anak menjadi permata hati dambaan setiap orangtua, yaitu melalui pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Islam.

Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak masih dalam kandungan . Jika anak sejak dini telah mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orengtuanya.

Upaya dalam mendidik anak dalam naungan Islam sering mengalami kendala. Perlu disadari disini, betapa pun beratnya kendala ini, hendaknya orangtua bersabar dan menjadikan kendala-kendala tersebut sebagai tantangan dan ujian.

Dalam mendidik anak setidaknya ada dua macam tantangan, yang satu bersifat internal dan yang satu lagi bersifat eksternal. Kedua tantangan ini sangat mempengaruhi perkembangan anak.

Sumber tantangan internal yang utama adalah orangtua itu sendiri. Ketidakcakapan orangtua dalam mendidik anak atau ketidak harmonisan rumah tangga. Sunatullah telah menggariskan, bahwa pengembangan kepribadian anak haruslah berimbang antara fikriyah (pikiran), ruhiyah (ruh), dan jasadiyahnya (jasad).

Tantangan eksternal pun juga sangat berpengaruh dan lebih luas lagi cakupannya. Tantangan pertama bersumber dari lingkungan rumah. Informasi yang yang didapat melalui interaksi dengan teman bermain dan kawan sebayanya sedikit banyak akan terekam. Lingkungan yang tidak islami dapat melunturkan nilai-nilai islami yang telah ditanamkan di rumah.

Yang berikutnya adalah lingkungan sekolah. Bagaimanapun juga guru-guru sekolah tidak mampu mengawasi anak didiknya setiap saat. Interaksi anak dengan teman-teman sekolahnya apabila tidak dipantau dari rumah bisa berdampak negatif. Sehingga memilihkan sekolah yang tepat untuk anak sangatlah penting demi terjaganya akhlak sang anak. Anak-anak Muslim yang disekolahkan di tempat yang tidak islami akan mudah tercemar oleh pola fikir dan akhlak yang tidak islami sesuai dengan pola pendidikannya, apalagi mereka yang disekolahkan di sekolah nasrani sedikit demi sedikit akhlak dan aqidah anak-anak Muslim akan terkikis dan
goyah. Sehingga terbentuklah pribadi-pribadi yang tidak menganal islam secara utuh.

Disamping itu peranan media massa sangat pula berpengaruh. Informasi yang disebarluaskan media massa baik cetak maupun elektronik memiliki daya tarik yang sangat kuat. Jika orang tua tidak mengarahkan dan mengawasi dengan baik, maka si anak akan menyerap semua informasi yang ia dapat, tidak hanya yang baik bahkan yang merusak akhlak.

Meskipun banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan seorang anak, orang tua tetap memegang peranan yang amat dominan, sebagaiman sabda Rasul SAW:

„Setiap anak dilahirkan dalm keadaan fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya nasrani, yahudi atau majusi.” (Hr.Bukhari).

Dalam mendidik anak orang tua hendaknya berperan sesuai dengan fungsinya. Masing-masing saling mendukung dan membantu. Bila salah satu fungsi rusak, anak akan kehilangan identitas. Pembagian tugas dalam Islam sudah jelas, peran ayah tidak diabaikan, tapi peran ibu menjadi hal sangat penting dan menentukan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orangtua Muslim dalam mendidik anak:

  • Orang tua perlu memahami apa yang dimaksud dengan pendidikan anak dan tujuannya.
  • Banyak menggali informasi tentang pendidikan anak.
  • Memahami kiat mendidik anak secara praktis. Dengan demikian setiap gejala dalam tahap-tahap pertumbuhan anak dapat ditanggapi dengan cepat.
  • Sebelum mentransfer ilai, kedua orang tua harus melaksanakan lebih dulu dalam kehidupan sehari-hari. Karena di usia kecil, anak-anak cerdas cenderung meniru dan merekam segala perbuatan orang terdekat.
  • Bersegera mengajarkan dan memotivasi anak untuk menghafal Al-Quran. Kegunaannya di samping sejak dini mengenalkan Yang Maha Kuasa pada anak, juga untuk mendasari jiwa dan akalnya sebelum mengenal pengetahuan yang lain.
  • Menjaga lingkungan si anak, harus menciptakan lingkungan yang sesuai dengan ajaran yang diberikan pada anak.

Memang usaha mendidik anak tidaklah semudah membalik tangan. Perlu kesabaran dan kreativitas yang tinggi dari pihak orang tua. Simaklah perkataan Sayyid Qutb, yang mempunyai ayah sebagai panutannya:”Semasa kecilku, ayah tanamkan ketaqwaan kepada Allah dan rasa takut akan hari akhirat. Engkau tak pernah memarahiku, namun kehidupan sehari-harimu telah menjadi teladanku, bagaimana prilaku orang yang ingat akan hari akhir.

Pendidikan Iman Anak : Tarbiyah Imaniyah


Salah satu aspek yang sering kita lupakan dalam mendidik anak-anak adalah tarbiyah ruhiyah. Jangankan untuk anak, untuk diri sendiri pun kita sering lupa dengan tarbiyah bentuk ini. Padahal, seperti halnya akal dan pikiran perlu mendapat pendidikan, ruh kitapun wajib mendapatkan haknya.
Untuk mendidik akal dan meningkatkan kapasitas intelektual orang tua menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah favorit. Tetapi dalam masalah pendidikan keimanan seringkali enggan memberi porsi yang cukup. Bahkan tidak perduli walaupun sekolah tersebut tidak memberikan pendidikan Islam yang memadai.
Iman merupakan hal asasi dalam kehidupan seorang muslim, sedang tarbiyah merupakan kebutuhan pokok setiap insan. Tarbiyah imaniyah adalah tarbiyah yang ditujukan untuk meningkatkan iman, ma’nawiyah (mentalitas), akhlaq (moralitas), dan ayakhsyiyah (kepribadian) daripada mutarobiyyin (anak didik).

Iman kepada Allah dan hari akhir wajib mendapat pupuk yang menyegarkan, disiram dengan air agar terus menerus tumbuh di lahannya secara bertahap dan tawazun (seimbang) menuju kesempurnaan. Iman tumbuh subur karena didasari hubungan yang intens dengan Allah dalam berbagai bentuknya. Cobalah simak hasil tarbiyah pada seorang anak di masa Salaf dahulu.

Abdullah bin Dinar berkisah tentang perjalanannya bersama Khalifah Umar bin Khattab. Beliau mengatakan, “Saya bersama Umar bin Khattab r.a. pergi ke Makkah dan beristirahat di suatu tempat. Lalu terlihatlah anak gembala dengan membawa banyak gembalaannya turun dari gunung dan berjumpa dengan kami. Umar bin Khattab berkata, “Hai penggembala, juallah seekor kambingmu itu kepadaku!”
Anak kecil penggembala itu menjawab, “Aku bukan pemilik kambing ini, aku hanya seorang budaknya.” Umar menguji anak itu, “Katakanlah kepada tuanmu bahwa salah seekor kambingnya dimakan srigala.”
Anak itu termenung lalu menatap wajah Umar, dan berkata, “Maka di manakah Allah?”

Mendengar kata-kata yang terlontar dari anak kecil ini, menangislah Umar. Kemudian beliau mengajak budak itu kepada tuannya kemudian memerdekakannya. Beliau berkata pada anak itu, “Kalimat yang telah engkau ucapkan tadi telah membebeaskanmu di dunia ini, aku harap kalimat-kalimat tersebut juga akan membebaskanmu kelak di akhirat.”

Kejadian di atas menunjukkan salah satu pengaruh dari pengenalan terhadap Allah. Kejadian serupa itu sudah sangat jarang terjadi saat ini. Sekarang ini, di masyarakat kita kejujuran dan kebenaran seolah sudah tak ada harganya. Coba bandingkan dengan sikap Umar yang menghargai anak tersebut dengan membebaskannya dari perbudakan.

Mungkin timbul pertanyaan: bagaimanakah seorang anak kecil di masa itu bisa menjadi begitu yakin dengan pengawasan Allah (muroqobatullah) yang berlaku pada setiap manusia?

Keyakinan lahir dari suatu pendidikan dan latihan yang benar. Di mana kekhalifahan Umar, masyarakat Islam sudah terbentuk dan masyarakat ini menghasilkan bi’ah (lingkungan) yang baik bagi anak tersebut, kendati ia berada di gurun. Pengaruh sistem pendidikan Islam telah merembes ke berbagai tempat sehingga setiap orang benar-benar meyakini dan menghayati syariat Allah.

Tarbiyah imaniyah untuk anak-anak merupakan satu pendidikan yang meliputi hal-hal berikut:

1. Upaya melaksanakan dan menghayati nilai-nilai ibadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya sesuai dengan bimbingan Rasulullah SAW.

2. Pembiasaan dalam mengingat Allah (dzikrullah) dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an atau dengan menyebut-nyebut nama Allah dengan cara yang tepat di saat-saat tertentu.

3. Membiasakan merasakan adanya bimbingan Allah dalam melaksanakan kebaikan dan pengawasan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Yaitu dengan menghubungkan kejadian-kejadian sehari-hari yang dialaminya dengan kekuasaan Allah.

4. Membiasakan menggantungkan diri kepada Allah misalnya dengan berdo’a dalam berbagai situasi dan kondisi.

5. Meningkatkan akhlak (perilaku) yang baik dengan mencontohkan tindakan-tindakan baik dan memperbaiki perilakunya pada saat anak melakukan keburukan.

6. Memberikan motivasi dan rangsangan dengan memuji atau memberi hadiah ketika anak berbuat baik, memberi manfaat kepada orang lain, atau menyenangkan orang lain kendati orang tersebut tidak menyadarinya.

7. Membimbing hal-hal lain untuk yang berhubungan dengan pendekatan diri kepada Allah.

Metoda Tarbiyah

Pembekalan keimanan bagi anak-anak berorientasi pada penyiapan pemahaman dan pembiasaan berbagai hal yang kelak dapat menolong anak untuk melakukan sendiri berbagai kegiatan yang dapat memelihara ruhiyahnya.

Anak-anak sebenarnya lebih mudah menerima hal-hal yang bersifat teoritis kendati bersumber dari alam ghaib (tidak nampak). Karena secara fitrah mereka mudah mempercayai orang tua, guru, atau kawan dekatnya. Anak-anak senantiasa jujur dan tidak mau didustai seperti pada kisah Umar bin Khattab di atas. Ini menunjukkan bahwa kejujuran mereka amat mudah mendekatkan mereka kepada Allah.
Tarbiyah imaniyah untuk anak-anak mungkin diberikan dengan jalan:

1. Dengan Contoh dan Keteladanan
Anak-anak adalah makhluk yang paling senang meniru. Orang tuanya merupakan figur dan idolanya. Bila mereka melihat kebiasaan baik dari ayah ibunya, maka mereka pun akan dengan cepat mencontohnya. Orang tua yang berperilaku buruk akan ditiru perilakunya oleh anak-anak. Anak paling mudah mengikuti kata-kata yang keluar dari mulut kita. Misalnya dalam mensyukuri segala nikmat yang diperoleh dalam keluarga. Kepada anak harus senantiasa diingatkan betapa semua rezeki bersumber dari Allah. Apabila kita memberi pisang kepada anak misalnya, sempatkanlah bertanya, “Darimana pisang ini, Nak?” “Dari Umi,” jawab si anak. “Ya. Tetapi sebenarnya pisang ini pemberian Allah kepada kita. Allah menyampaikannya melalui Umi.”

Dengan cara demikian, dalam peristiwa sederhana ini kita mencontohkan bagaimana mengingatkan Allah dan mensyukuri pemberian-Nya. Mengucapkan hamdalah ketika menerima sesuatu dan menjelaskan kepada mereka bahwa semuanya merupakan kasih sayang Allah dan merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat dipungkiri. Demikian pula mengucapkan insya Allah, subhannallah, dan berbagai ungkapan tasbih lainnya akan dicontohkan oleh anak.

2. Dengan Latihan dan Pembiasaan

Banyak pembiasaan ibadah harus dilakukan pada anak. Misalnya pembacaan do’a pada tiap-tiap kesempatan dan menguraikan maksud dan isi do’a tersebut. Di setiap munasabah, ada do’a yang pantas diucapkan. Mau makan, minum, tidur, mau belajar, mau berwudhu, menaiki kendaraan, dan lain-lain ada do’a yang khas untuknya. Anak-anak sangat mudah menghafalkan do’a-do’a ini. Apalagi bila di sekolah mereka mendapat program khusus mengenai do’a ini. Tetapi pengamalan do’a-do’a tersebut sangat tergantung pada pengawasan orang tua. Biar pun anak mampu menghafal seratus do’a di sekolah atau madrasahnya, dia tidak akan mampu meningkatkan imannya bila tidak ada pengamalan dan penghayatannya. Secara rutin dan teratur ayah atau ibu hendaknya membimbing anak membiasakan pembacaan do’a ini, menjelaskan dan memberi pengertian tentang nilai-nilai kandungannya.
Pembiasaan lain yang perlu dilakukan semenjak dini antara lain:
- Membawa anak-anak ke masjid, beri’tikaf, serta mencintai dan menghormati jamaahnya.
- Memberikan perhatian khusus agar anak senantiasa membaca Al Qur’an secara rutin.

3. Dengan Nasihat dan Bimbingan

Orientasi nasihat dan bimbingan bertujuan mengingatkan anak terhadap pengawasan Allah di mana pun mereka berada. Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa sewaktu masih anak-anak, beliau pernah dibonceng Rasulullah di atas untanya. Perjalanan yang mengasyikkan ini digunakan Rasulullah untuk menasihati Ibnu Abbas. Waktu itu Rasulullah SAW berkata,

“Hai anak, jagalah semua perintah Allah, niscaya Allah memeliharamu. Periharalah semua perintah Allah, niscaya engkau dapati Dia di hadapanmu. Apabila engkau memohon sesuatu, mohonlah hal itu kepada Allah, dan bila meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Dan ketahuilah, sekiranya seluruh masyarakat sepakat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagimu, maka semua manfaat itu hanyalah Allah yang menentukannya, dan bila mereka akan berbuat jahat kepadamu, maka kejahatan itu tidak akan menimpamu kecuali yang telah ditetapkan Allah pula. Terangkat qalam dan keringlah pena.” (At-Tarmidzi)

4. Dengan Pengarahan dan Pengajaran
Bila nasihat disampaikan di mana saja, di tempat-tempat di mana orang tua (murobbi) berinteraksi dengan anak didiknya, maka pengarahan dan bimbingan mengambil waktu dan tempat tertentu misalnya seusai shalat Shubuh atau Maghrib berjamaah. Rasulullah pernah memberi pengajaran kepada Ibnu Abbas sebagai berikut,

“Periharalah perintah Allah, engkau dapatkan Allah di hadapanmu. Kenalkan dirimu kepada Allah di waktu senang, niscaya Allah akan mengingatmu di saat kesukaran. Ketahuilah bahwa sesuatu yang terlepas darimu tidak akan mengenaimu, dan yang menjadi bagianmu tidak akan terlepas darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu beserta keshabaran, dan kegembiraan itu setelah kesukaran, dan setiap ada kesukaran akan ada kelapangan.”

Anak-anak pra sekolah dapat mulai dimasukkan ke TPA di mana mereka mendapatkan arahan dan pengajaran dari guru-guru yang sudah memahami metoda pendidikan keimanan kepada balita.

5. Dengan Bercerita dan Berkisah
Anak-anak sangat senang pada cerita-cerita dan kisah-kisah masa lampau. Apalagi di dalamnya terkandung unsur-unsur heroik dan semangat perjuangan. Islam memiliki khazanah kekayaan sejarah yang sangat besar. Mulai zaman nabi-nabi, Nabi Muhammad dan para sahabat beliau, serta sejarah umat Islamnya. Ibnu Mas’ud berkata, “Kami (generasi sahabat) mengajarkan perang-perang Rasulullah kepada anak-anak kami sebagaimana kami mengajarkan Al Qur’an.”

Ayah dan ibu yang bercerita kepada anaknya akan lebih melekatkan anak-anak pada keteladanan dan ibroh (pelajaran) yang dapat diambil oleh anak. Sesungguhnya apabila kita mampu bercerita dengan baik, kisah dari seorang ibu yang lembut dan penuh keakraban insya Allah dapat lebih disukai anak tenimbang acara-acara telivisi. Karena pendekatan cerita sebelum tidur bersifat timbal balik dan mempunyai dampak psikologis yang dibutuhkan anak.

6. Dengan Dorongan, Rangsangan dan Penghargaan

Usia kanak-kanak sangat memerlukan dorongan dan penghargaan ketika meraih sesuatu kendati sangat sederhana. Jangan segan-segan mengucapkan terima kasih kepada anak yang berhasil nilai yang bagus, atau memberi hadiah ketika berhasil dalam salah satu kegiatan. Di dalam hadiah tercermin kasih sayang, karena Rasulullah bersabda,”Saling beri hadiahlah kalian dengan demikian kalian akan saling mencintai.” (Al-Hadits)

Bagi seorang anak, perhatian, ciuman, dekapan yang mesra, atau gendongan dapat dipahami sebagai hadiah. Anak yang lebih besar ingin hadiah yang lebih kongkrit. Tak ada salahnya ayah memberi sesuatu ketika anak telah berprestasi dalam peningkatan pribadinya. Misalnya, ketika berhasil menghafal satu surat di antara surat-surat Al Qur’an.

(Dikutip dari Majalah Ummi, No. 9/VIII Tahun 1417H/1997)

Minggu, 21 Februari 2010

Bismillahir Rohmanir rohim,

Assalamu alaikum Wr Wb

Salam Ta'arruf dari seorang ibu yang ingin berbagi pengalaman

Wassalamu alaikum Wr Wb